Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Islam dan Nasionalisme Pernah Bertentangan, Tapi Tak Saling Membenci

7 April 2017   06:16 Diperbarui: 7 April 2017   15:30 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Islam dan Nasionalisme - http://jalandamai.org

Islam & Nasionalisme Pernah Bertentangan, Namun Tak Saling Membenci

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon, mengambil sikap tak setuju dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta agama harus dipisahkan dari politik. Menurut Fadli, gesekan antar masyarakat yang dipicu akibat masuknya dimensi agama dalam politik yang menjadi dasar argumen Jokowi – sebutan lain Joko Widodo – justru disebabkan setelah Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, menyebutkan insiden Surah Al Maidah Ayat 51 di Kepulauan Seribu, September silam.

“Jika saja tidak ada pernyataan Basuki Tjahaja Purnama yang menyinggung kelompok Islam, gesekan masyarakat juga tidak akan eskalatif seperti ini,” kata Fadli.

Alih-alih mengambil sikap mendukung atau menentang pernyataan Fadli, ada baiknya kita melihat masa sebelum Ahok melemparkan dirinya ke dalam pusaran konflik yang membawa ketegangan di masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017. Umum diketahui, namun tidak dibahas secara terbuka, bahwa ada sejumlah penceramah dalam khotbah di mesjid, misalnya khotbah shalat Jumat, yang membicarakan atau mendorong jamaah untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim. Dalilnya, tentu saja, adalah Surah Al Maidah ayat 51 yang disebut Ahok di Kepulauan Seribu.

Bisakah kita merespon pernyataan Fadli dengan mengatakan bahwa Ahok menyebut Surah Al Maidah sebagai respon atas ceramah-ceramah yang menurutnya bertendensi politis dalam sidang agama seperti khotbah Jumat? Tidak mudah memang untuk mengurai kejernihan dalam soal ini. Tetapi, yang paling mungkin kita lakukan adalah mengajukan pertanyaan seperti ini: “politik agama atau (hanya) politisasi agama?”

Memandang Islam sebagai aspirasi politik dan mempolitisasi sentimen muslim untuk kepentingan politik adalah dua hal berbeda. Ideologi Pancasila yang telah melindungi kita secara “naratif” untuk menjadi seorang Indonesia, sama sekali tidak mengeksploitasi sentimen sebagai sesama muslim demi kepentingan politik. Pancasila tidak memperalat “agama”, itulah yang harus kita percaya.

Sudah sejak awal, ketika Pancasila masih berupa naskah Piagam Jakarta, bahwa identitas ke-Islaman telah menjadi modal dalam menyatukan Indonesia sebagai bangsa. Dalam konteks di masa itu, sentimen sebagai seorang muslim dan sesama muslim telah menjadi faktor yang turut berbicara untuk merumuskan identitas bangsa sebagai hasil perjuangan melepaskan diri dari kolonialisme.

Pertentangan antara identitas ke-Islaman dan konsep negara nasional pun sebenarnya sudah pernah kita lewati. Pemimpin perjuangan seperti Agus Salim, Mohammad Natsir, dan Ahmad Hassan, bagkan menganggap nasionalisme yang digaungkan oleh Soekarno sebagai konsep “jahiliyah” yang mengancam konsep tauhid dalam Islam.

Namun, pada akhirnya, kita tidak pernah mendengar bahwa Agus Salim dan Soekarno pada akhirnya saling membenci. Atau yang lebih buruk, Agus Salim dan Soekarno mengajak umat dan rakyat untuk hidup dengan cara saling mengutuk.

Itulah yang berbeda dengan agama dan politik dalam kehidupan kita di waktu-waktu terakhir. Islam dijadikan sebagai dalil untuk “mengutuk” orang lain yang kebetulan adalah non-Muslim dan merupakan kontestan Pemilihan Kepala Daerah.

Sejarah telah mengajarkan bahwa Islam ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Juga, mereka yang tergolong sebagai pendiri bangsa telah menunjukkan kearifan yang tiada bandingnya dengan tetap hidup damai melalui titik-tengah bernama Pancasila.

Jika kearifan kita untuk urusan agama, politik, juga kenyataan bahwa kita hidup dalam perbedaan, tidak lebih baik atau sekurang-kurangnya sejajar dengan pemimpin di era Soekarno dan Agus Salim, maka kita bisa dipastikan menjadi generasi yang mengalami kemunduran. Mundur karena masa lalu ternyata lebih baik dari pada masa yang anginnya masih bisa kita hirup dengan hidung kita sendiri.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun