Mohon tunggu...
Albert Purba
Albert Purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Ad Majorem Dei Gloriam

Membahasakan pikiran dengan kata dan aksara

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sungai dan Kesejahteraan Lahir Batin Kita

26 Maret 2021   16:43 Diperbarui: 27 Maret 2021   14:04 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber Foto: Dokumen Pribadi)

Beberapa waktu lalu saya dibuat tersentak oleh postingan seorang teman di Facebook. Saat itu dia menulis tentang keringnya Lau Biang, yaitu sebuah sungai yang mengalir melintasi beberapa kampung, termasuk juga Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo. 

Ada rasa tidak percaya saat membaca berita ini yang sontak membuat ingatanku kembali ke masa kanak-kanak; ke ladang kami yang berada tidak jauh dari sungai ini sehingga pada saat cuaca baik akan terdengar jelas suara desau airnya. 

Kala itu sebagai seorang anak kecil sepertiku ada rasa ngeri dan takjub. Aku pernah menikmati kesegaran air sungai ini dengan mandi di sana, seingatku ada sebuah pancuran di sana yang airnya langsung keluar dari batu. Pernah di suatu siang yang terik di ladang, tanpa disengaja air minum tumpah sehingga kami semua kehausan. 

Akhirnya ibu bersama seorang temannya pergi mengambil air ke pancuran tersebut. Kami semua minum dengan puas, airnya sejuk, segar dan langsung dari alam menyelamatkan kami dari dehidrasi yang bisa berakibat fatal. Sebuah kenangan yang tidak terlupakan.

Saat membaca postingan teman tersebut dan melihat ada kesan gembira atau euforia dalam memberitakan peristiwa itu dengan mengajak teman-teman lain menangkap ikan di sungai, hati saya bertanya-tanya. Apakah ada "sense of crisis" di tengah masyarakat kami saat sungai yang selama ini mengalir deras tiba-tiba kering? Apakah masyarakat kami tahu bahwa sungai yang kering adalah ancaman nyata bagi kehidupan? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul begitu saja, bukan untuk menghakimi sesama tetapi lebih karena keprihatinan saya melihat kenyataan bagaimana kita selama ini memperlakukan sungai.

Kenyataan keringnya Lau Biang beberapa waktu lalu mungkin saja diakibatkan oleh longsornya tebing sehingga air sungai terhempang. Tetapi dibandingkan 20 atau 30 tahun lalu, saya menyaksikan dan melihat betapa pembangunan yang masif dan pertambahan jumlah penduduk di kota Kabanjahe dan desa-desa sekitarnya, serta berkurangnya hutan dan daerah tangkapan air menjadi penyebab utama kejadian tersebut. 

Ladang tempat saya di masa kecil mendengar desau air sambil berlari-lari mengejar kupu-kupu atau belalang kini sudah berubah menjadi pemukiman. Itu berarti ekosistem pinggiran  sungai terancam oleh konversi lahan dan kehadiran manusia. 

Perubahan iklim dapat juga dijadikan alasan. Namun setidaknya peristiwa keringnya sungai  tersebut seharusnya diterima sebagai sebuah isyarat dari alam untuk segera melakukan pembenahan.

Dalam pengamatan dan pengalaman saya, masyarakat kita memang masih menganaktirikan sungai, seolah sungai itu bukan bagian dari diri kita. Sungai atau lingkungan dipandang sebagai bagian terpisah atau mungkin sebagai obyek belaka, baik untuk eksploitasi ekonomi ataupun tujuan-tujuan praktis lainnya seperti tempat membuang sampah atau toilet. 

Masih jarang kita temukan, apalagi sungai yang berada di tengah kota, difungsikan sebagaimana seharusnya. Padahal kebersihan sungai dan air yang dikandungnya bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan lahir dan batin sebuah masyarakat di mana sungai tersebut berada.

Kenapa saya katakan lahir dan batin? Karena air adalah pembentuk kehidupan, lebih dari separoh tubuh kita terdiri dari air. Dan seperti kita ketahui lembaga penelitian seperti NASA yang mengirim pesawat canggih ke planet Mars untuk mengetahui apakah ada air di sana. Keberadaan air itu akan menjadi sebuah proyeksi kehidupan di Mars kelak. 

Di berbagai upacara keagamaan air juga memainkan peran penting dalam kaitannya dengan ritus penyucian dan pembersihan. Jadi ketersediaan dan kebersihan air erat terhubung dengan kehidupan manusia secara menyeluruh jasmani, mental dan spiritual.

Kekurangan air di masa kemarau atau kelebihan di saat banjir adalah sebuah masalah serius yang banyak kaitannya dengan cara kita memperlakukan sungai. Berkaca dari pengalaman berkeliling di beberapa kota di Jerman dan beberapa negara di Eropa, saya melihat betapa masyarakat di sini sudah memiliki "darling" (kesadaran lingkungan) yang sangat baik terkait masalah air dan sungai. 

Meski mengalir di tengah kota, tetapi kualitas air sungai mereka sangat bagus. Secara kasat mata bisa dilihat dari kejernihannya di mana batu dan pasir terlihat jelas di dasarnya dan ikan-ikan tampak berkeriapan di dalam air. 

Bebek-bebek liar dan burung-burung air seperti belibis dan camar serta bangau hidup dan mencari makan di sungai, padahal di sekitar sungai itu terdapat rumah-rumah penduduk. Sebuah pemandangan yang jarang dapat kita temukan di tanah air.

Sejauh pengamatan saya, salah satu cara masyarakat di sini memelihara kebersihan air dan lingkungan ialah tidak mengalirkan air limbah langsung ke sungai, sehingga air tidak menjadi kotor. Pemerintah kota membangun fasilitas pembungan air limbah yang terintegrasi sehingga, air bekas pakai tidak mencemari lingkungan. 

Kesadaran membuang sampah di tempatnya nampak pula sudah menjadi sebuah kebiasaan bersama di sini. Memang ada juga beberapa orang yang tidak bertanggung jawab dengan melemparkan sesuatu ke sungai. 

Beberapa kali saya melihat ada sepeda atau sepatu di dalam sungai namun itu adalah pemandangan yang sangat jarang. Dan mungkin yang melakukannya pun adalah orang yang sedang dalam keadaan mabuk. Dan hal yang paling utama ialah adanya daerah tangkapan air berupa lapangan luas dan hutan-hutan kecil yang banyak terdapat di berbagai penjuru kota. 

Pengelolaan dan tata ruang seperti ini mengurangi risiko banjir dan membuat sumber-sumber air tetap mengalir sehingga sungai tidak mengering meski di masa kemarau. Dalam bahasa figuratif yang sering saya pakai, bagi masyarakat di sini lingkungan (baca: sungai) adalah diri mereka sendiri, sehingga perlakuan kepadanya pun tidak sembarangan dan serampangan.

Karena kebersihan dan keindahan yang terjaga ini, tepian sungai menjadi area rekreasi atau tempat menyenangkan. Saya sendiri sejak tinggal di Herford, NRW, Jerman, hampir setiap hari melakukan jalan sore di sisi sungai untuk menikmati suara gemercik air yang memberikan efek  menenangkan. 

Suatu kebiasaan yang tidak pernah saya bayangkan bisa saya lakukan saat masih bertugas di Jakarta, Pematang Siantar atau Tanjung Balai; meski di kota-kota yang saya sebut terdapat sungai yang membelah kota. 

Kualitas udara di tepi sungai dengan banyak pohon pasti lebih baik daripada di bagian lain kota yang selalu ramai dengan kendaraan. Sajian pemandangan di mana unggas-unggas air berenang dan berebut makanan serta pucuk-pucuk pohon yang bergoyang ditiup angin tampak seperti tarian yang menghibur mata dan jiwa.

(Sumber Foto: Dokumen Pribadi)
(Sumber Foto: Dokumen Pribadi)

Saya pernah bertanya kepada dosen saya yang asal Skotlandia, kenapa bangsa-bangsa Eropa begitu maju dalam banyak bidang kehidupan dan termasuk cara menjaga lingkungan yang bersih dan lestari. "Kami membutuhkan waktu ratusan tahun untuk menjadi seperti sekarang ini," ujarnya. 

Pada tahun 2011 saya mengunjunginya ke Linlithgow, yakni sebuah kota yang berjarak sekitar 32 Km ke arah Barat dari Edinburgh, saya melihat rumah orang tuanya yang dibangun di pinggir danau,  dari sana tersaji pemandangan yang indah yang tentu saja membangkitkan imajinasi dan kreativitas.

Tentu saja kenyataan dan praktek hidup seperti ini akan sangat sulit terealisasi tanpa campur tangan hukum dan politik lingkungan negara dan pemerintah. Tanpa undang-undang yang mengikat dan hukum yang tegak,  jangan mengharapkan masyarakat yang dengan sendirinya memiliki berperilaku "darling". 

Di sinilah urgensi kehadiran negara untuk melakukan rekayasa masyarakat supaya tercipta sebuah kesadaran dan kebiasaan baru (habitus baru) yang pro lingkungan, dalam hal ini sungai. Tanpa itu kita tidak akan bisa menikmati sungai yang indah dan berair jernih, dan ironisnya generasi akan datang akan mewarisi air mata sebab mata air yang selama ini ada sudah mengering akibat kita menganak tirikan sungai.

Herford, 25 Maret 2021

 (Sumber Foto: Dokumen Pribadi)
 (Sumber Foto: Dokumen Pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun