Tapi sebagaimana kita ketahui, Jerman kalah dan babak belur diserang oleh Sekutu dan Uni Soviet. Tidak hanya itu saja, Jerman pernah terbagi menjadi dua wilayah Barat dan Timur dengan ideologi dan kiblat politik yang berbeda.Â
Sejarah ini tentu sangat menyakitkan dan mungkin membuat malu bangsa yang dari tengah-tengahnya lahir ilmuan, komposer, teolog, sastrawan dan orang-orang hebat lainnya.
Bila kita menonton film berlatar belakang Perang Dunia Kedua, Jerman selalu ditempatkan pihak antagonis. Meskipun bila kita membaca lebih dekat, dari tengah-tengah bangsa ini ada juga tokoh yang menentang Hitler seperti Dietrich Bonhoeffer atau Martin Niemoeller, keduanya pendeta yang melakukan perlawanan terbuka maupun bawah tanah terhadap rezim Nazi. Bonhoeffer sendiri harus menghadapi kematian dalam usia muda (39 Tahun) di tangan tentara Gestapo pada 9 April 1945.
Sejarah kelam masa lalu yang pedih dan menyakitkan, oleh orang-orang Jerman saat ini dijadikan pelajaran. Saya melihat bahwa lempengan tembaga dengan nama-nama orang yang diterakan di sana menjadi pengingat generasi berikut untuk tidak melakukan tindakan brutal seperti yang pernah dilakukan pendahulu mereka. Â
Maka tidak heran bila saat ini Jerman menjadi salah satu negara yang sangat ramah kepada pengungsi. Dalam beberapa kali kesempatan rasa ingin tahu membuat saya bertanya kepada orang-orang yang saya temui seperti tukang pangkas, supir taksi, pedagang makanan saji. Kebanyakan berasal dari Turki, ada juga Pakistan, Afganistan, negara-negara Eropa Timur.Â
Teman anak saya di sekolah ada yang berasal dari Syria (Suriah) dan salah satu tetangga kami yang membuka toko bahan makanan Asia berasal dari Vietnam, dia dan suaminya sudah tinggal hampir 40 tahun di Jerman.
Sekarang negeri ini sudah menjadi sebuah negara multikultural, bukan lagi masyarakat yang homogen dengan warisan budaya abad pertengahan yang bercorak kristiani. Semua punya hak sama dan juga tentunya wajib menaati hukum yang sama. Istri saya yang ikut kursus bahasa di sini, pada saat pemilihan walikota (Buegermeister) mendapat undangan untuk memilih.
Sejarah telah mengajar bangsa ini untuk menghormati manusia tanpa membedakan suku, agama dan ras. Walau ada juga kelompok kecil yang mengusung dan ingin mengobarkan kembali identitas rasial, tapi sejauh ini tidak mendapat tempat di hati masyarakat luas.
Apakah bangsa kita juga akan berjalan ke arah yang sama? Di mana kita tidak lagi mempergunakan dan mengeksploitasi sentimen kedaerahan dan agama dalam ruang publik. Semoga kita belajar dari Jerman dan sejarahnya.
Herford, 06.03.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H