Di kota Herford, tempat saya saat ini bekerja, tidak jarang di beberapa tempat dapat dijumpai "Stolpersteine" (Harafiah: Batu-batu sandungan). Itu adalah lempengan-lempengan tembaga di atas jalan dengan gambar, tulisan dan angka.Â
Awalnya saya tidak mengerti kenapa ada benda-benda seperti itu di jalan. Tapi setelah saya amati dan teliti, ternyata lempengan itu adalah tanda peringatan terhadap orang-orang yang namanya dicetak di atas logam tersebut.Â
Itu adalah nama-nama para korban, umumnya orang Yahudi, yang dulunya tinggal di Herford tapi kemudian dibawa ke kamp konsentrasi oleh rezim Hitler yang menganut kebencian ras. Sebuah cara mengenang para korban dan juga memaknai sejarah yang unik dan kreatif.Â
Dalam sebuah acara peletakan "Stolpersteine" ini, pelajar dari sebuah sekolah di Herford menjadi patron (Jerman: Paten) atau pelindung aksi ini. Dalam situs zellentrakt.de, disebutkan bahwa sejak 2015 sudah diletakkan 124 Stolpersteine di Herford.
Di sisi lain kota, dibangun sebuah tanda peringatan setinggi lebih kurang 2 meter, dan pada monumen berbentuk tugu itu dilekatkan juga lempeng tembaga dengan tulisan: SEBUAH PERINGATAN BAGI ORANG-ORANG YANG MASIH HIDUP (Jerman: Zum Gedenken den Lebenden zur Mahnung).
Dalam hal ini bangsa Jerman berusaha untuk tidak menutupi dan menimbun sejarah kelam masa lalu mereka walaupun itu pahit dan menyakitkan. Dengan semua tanda peringatan itu, mereka berusaha untuk belajar agar  tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang pernah dilakukan oleh generasi pendahulu.Â
Bahwa kebencian yang dilatari belakangi ras dan didukung oleh tafsir kitab suci yang salah hanya akan mendatangkan bencana kemanusiaan yang sulit dimaafkan.Â
Tapi hubungan kedua bangsa ini selalu berada dalam pasang surut, tergantung situasi dan kebijakan penguasa politik dan agama. Tercata bahwa pada tahun 1096 komunitas Yahudi di Rhein, diserang oleh tentara Perang Salib; ratusan orang dibunuh atau dibabtis paksa atau disuruh bunuh diri.Â
Demikian juga pada saat datang wabah pest pada tahun 1348-1351, orang-orang Yahudi menjadi korban dari teori konspirasi  yang menuduh bahwa penyakit itu berasal dari mereka. Martin Luther, tokoh reformasi gereja yang awalnya bersimpati dengan orang Yahudi tapi ketika mereka tidak beralih menjadi Kristen, Luther berubah dan akhirnya mengkhotbahkan juga penganiayaan bagi orang  Yahudi (Der Spiegel, 2019:37).
Pada tahun 1879 istilah antisemitisme diperkenalkan oleh seorang jurnalis asal Hamburg, Wilhelm Marr, dan sejak itulah kebencian terhadap orang Yahudi tidak lagi berdasarkan alasan agama tapi antroplogis dan ras. Puncak dari kebencian ini terjadi pada periode 1933-1945, saat ideologi NAZI singkatan dari Nationalsozialismus yang dikomandani Hitler mengambil alih kekuasaan.