Mohon tunggu...
Albert Purba
Albert Purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Ad Majorem Dei Gloriam

Membahasakan pikiran dengan kata dan aksara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Masih Mampukah Rahim Demokrasi Kita Melahirkan Negarawan?

16 Februari 2021   23:29 Diperbarui: 17 Februari 2021   00:03 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita kerap disuguhi berita yang membuat diri mengelus dada menyaksikan akrobat politik para politisi yang lebih licin dari belut. Belum lagi berita OTT yang dilakukan KPK terhadap para kepala daerah yang notabene merupakan hasil demokrasi dan pemilihan langsung oleh rakyat, dan kasus terakhir dua menteri juga ditangkap.

Semua itu rasanya belum cukup bila tidak menyinggung masifnya berita bohong (hoax) serta kampanye hitam dalam proses demokrasi kita yang dilakukan oleh kelompok politik tertentu terhadap lawan politiknya. Kesantunan dan rasionalitas jauh dari adab politik sehingga politik tampak dangkal (banal) dan artifisial.

Judul di atas selalu mengusik benak penulis sebab fakta lapangan memperlihatkan kenyataan yang sebaliknya. Politik yang minus negarawan adalah bukti bahwa dunia politik kita sedang memainkan dosa sosial yang oleh tokoh kemerdekaan India, Mahatma Gandhi disebut sebagai politik tanpa prinsip. Politik seperti ini hanya berbicara tentang bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan, bukan bagaimana bernegara.

Membaca kembali sejarah, ternyata bangsa ini pernah memiliki seorang negarawan yang tidak sekadar aktif berpolitik namun juga melakoni hidupnya sebagai hati nurani bangsa. Setidaknya itulah yang disampaikan dalam buku karya Dr.Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa.

Buku yang tampak sebagai sebuah biografi politik ini memaparkan dengan baik dan jelas siapa dan apa yang diperbuat Bung Hatta bagi negeri yang diperjuangkannya dengan segenap jiwa raganya. Walaupun tidak sampai seekstrim Gandhi, Bung Hatta dapat dikatakan sebagai negarawan yang melakoni asketisme, yaitu sikap hidup yang tidak mengejar kenikmatan (hedonisme).

Dalam menuntut ilmu pengetahuan Bung Hatta memang tidak pernah terpuaskan. Deliar Noer dengan bijak menampilkan Hatta yang dapat disebut sebagai negarawan pemikir (the thingking-statesman). Buku menjadi sahabat yang paling dekat bagi beliau bahkan yang mendampinginya menuju pembuangan ke Boven Digoel maupun ke Banda Neira. 

Kecintaannya akan buku ini dituliskan juga oleh Bung Hatta dalam kumpulan memoarnya yang dimuat ulang dalam tulisan Mengenang Sjahrir yang dieditori oleh Rosihan Anwar. Hatta bahkan menunda perpindahannya dari Digoel ke Banda selama lebih kurang satu bulan supaya dapat mengumpulkan buku-buku yang sedang dipinjam teman-temannya, sesama orang buangan di belantara Digoel itu.

Pada tulisan yang sama, Hatta juga menceritakan bagaimana ia menasehati teman-teman seperjuangan yang sedang terbuang untuk tetap menjaga kesehatan badan maupun pikiran.

Ketika kekuatan Kolonial menekannya dengan pembuangan ke sudut peradaban, beliau dengan sadar merawat daya kritis dan kewarasan pikiran dengan buku dan bacaan.

Bahkan, dari dalam pembuangan beliau masih bisa menghasilkan tulisan untuk dimuat di koran. Bukti bahwa pikiran kritisnya tidak luntur. Dia setia pada perjuangan non koperatif  meskipun pejabat kolonial menawarkan tunjangan dalam bentuk uang sebesar f7,50 sebulan (Rosihan Anwar, 2010:26).

Kesadarannya inilah yang membuat dia tidak mau disogok oleh pemerintah untuk menurunkan derajat perjuangannya. Kalau dia mau kenapa dia harus bersusah-susah dibuang ke Digoel sedangkan Departemen Ekonomi di Jakarta menawarinya gaji f500 sebulan (Deliar Noer, 2015:50).

Rasionalitasnya sebagai orang terpelajar dibarengi juga dengan spiritualitasnya sebagai seorang yang beragama. Dalam keadaan tertekan sekalipun dia tetap menjalankan perintah agama dengan tidak melupakan waktu sembahyang. Dalam memoar atau otobiografinya yang berjudul: Untuk Negeriku, Bung Hatta menceritakan bagaimana dia diculik oleh pemuda-pemuda revolusioner dan bersama Bung Karno dan dipaksa segera memproklamasikan kemerdekaan.

Pada saat sepetti itu beliau masih ingat sembahyang walaupun niat itu harus diurungkan karena celana yang beliau pakai kena pipis Guntur yang tadi dipangkunya (M.Hatta, 2015:83, Vol.3). Dalam keadaan terdesak dan genting serba tidak pasti dia masih ingat Tuhan dan memasrahkan hidupnya pada-Nya.

Sebuah catatan kecil yang menambah pilu hati kita sebagai anak bangsa yang menikmati kemerdekaan hasil perjuangan beliau, ialah keterangan pada akhir buku Deliar Noer yang memuat pengakuan Bung Hatta bahwa gaji pensiunnya sebagai wakil presiden tidak cukup membiayai rumah tangganya yang beranggotakan lima orang yakni beliau, istri dan ketiga anaknya. Dia pernah menolak kenaikan gajinya sebagai wakil presiden dan mengembalikan uang taktis sebagai wapres saat dia mengundurkan diri dan meletakan jabatannya (Deliar Noer, 2012:171-172).

Saya sering bertanya bagaimanakah kiranya perasaan seorang Bung Hatta yang telah memberikan tahun-tahun terbaiknya bagi negeri ini? Dapatkah kita rasakan beban batin beliau yang harus dua kali menderita malaria tertiana ketika dibuang ke Digoel? Sementara di masa tuanya yang secara ekonomi sederhana, beliau melihat korupsi merajalela? Untuk itu hanya Bung Hatta yang tahu, tapi kita dapat yakin bahwa beliau tidak pernah menyesali pilihannya.

Bung Hatta adalah sosok politisi cum negarawan yang telah mencapai taraf ugahari (Yunani: sophron) seperti yang digambarkan oleh filsuf Yunani kuno, Platon dalam bukunya Xarmides. Seorang sophron berarti seorang yang telah mampu mengawinkan pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis, seorang yang tahu malu, tidak ugal-ugalan dan santun (Setyo Wibowo, 2015:14). Bung Hatta adalah sosok yang tahu batas dan dengan sadar dia memilih tidak melanggarnya, meskipun batas-batas itu terkadang tidak masuk akal bagi orang lain. Kepribadian dan sikap Bung Hatta tetap meninggalkan tanda tanya bagi kita, seperti yang dituliskan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengantar memoarnya (Taufik Abdullah, 2015:XXIII).

Saya sering bertanya dalam hati apakah akan ada lagi pemimpin sekelas Bung Hatta yang setia pada prinsip keilmuan dan keagamaannya? Seorang penguasa yang tahu batas dan memilih untuk menahan diri dari godaan kenikmatan? Menjadi penguasa memang diberi dan dilengkapi dengan fasilitas yang semuanya dibiayai oleh negara. Namun seorang penguasa yang tahu batas tidak akan memuaskan diri  dengan alasan itu sudah haknya.

Pertanyaan di atas nampak pesimistis, seolah tidak ada lagi yang baik di tengah gemuruh politik dan perebutan kekuasaan negeri yang diwariskan Bung Hatta dan teman-teman seperjuangannya. Namun, pesimisme ini memiliki dasar juga dalam fakta-fakta yang sudah diutarakan di atas. Memang pemilihan langsung yang diterapkan di negeri ini sebagai buah reformasi bertujuan untuk menghasilkan pemimpin terbaik. 

Namun, kita sering sekali dikecewakan oleh mereka yang  terpilih sebab seiring dengan berjalannya waktu terbukti banyak dari antara mereka bukan yang terbaik. Kenapa mereka bukan yang terbaik? Sebab di antara mereka ada yang tampil layaknya seorang raja yang bermental feodal sehingga begitu mereka duduk di kursi empuk ada jarak yang terentang antara rakyat dan mereka.

Pilkada juga membuat kita galau akan perjalanan bangsa ini ke depan. Pilkada yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengukur sehatnya demokrasi terkadang bermutasi menjadi pemecah persatuan dan persaudaraan kita. Syahwat kekuasaan dan semangat strugle to be the fittest, membuat politisi lupa apa sebenarnya makna yang terkandung dalam politik.

Azas kesantunan diabaikan. Rasionalitas dianggap sepi. Perasaan pemilih dipermainkan dengan menghembuskan sentimen daerah dan keagamaan.  Cara-cara seperti ini, nampaknya absen dalam seorang politisi bernama Mohammad Hatta, yang demi tegaknya demokrasi pernah mengeluarkan  maklumat Wakil Presiden, 3 November 1945 (M.Hatta, 2015:115, Vol.3).

Maklumat itu menjadi pertanda bahwa politik harus sebuah wadah partisipasi seluruh rakyat dalam bernegara bukan segelintir orang atau elit.

Tidak dapat dipungkiri, sistem politik kita yang sekarang ini menuntut biaya tinggi dari setiap peserta yang memperebutkan kursi kekuasaan. Para calon seolah membeli suara maka terjadilah transaksi. Di sisi lain kita juga harus jujur mengakui bahwa rakyat sebagai pemilik suara terkadang dengan mudahnya memberikan suara kepada mereka yang menawari uang. Rakyat tidak peduli  siapa yang terpilih, yang penting mereka dibayar karena sudah libur sehari hanya untuk memberikan suara mereka selama lima menit di bilik suara.

Kita berdoa kiranya dari rahim demokrasi kita lahir kembali pemimpin sekelas Bung Hatta; rasional nan saleh, tegas tetapi santun. Tetapi berdoa saja tidak akan cukup mengubah keadaan dan untuk mendapatkan pemimpin yang baik sekelas Bung Hatta, kecuali bila orang-orang yang berpartisipasi dalam proses demokrasi kita mengetengahkan rasionalitas dan kesalehan seperti yang dipraktekkan Bapak Bangsa kita cintai ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun