Rasionalitasnya sebagai orang terpelajar dibarengi juga dengan spiritualitasnya sebagai seorang yang beragama. Dalam keadaan tertekan sekalipun dia tetap menjalankan perintah agama dengan tidak melupakan waktu sembahyang. Dalam memoar atau otobiografinya yang berjudul: Untuk Negeriku, Bung Hatta menceritakan bagaimana dia diculik oleh pemuda-pemuda revolusioner dan bersama Bung Karno dan dipaksa segera memproklamasikan kemerdekaan.
Pada saat sepetti itu beliau masih ingat sembahyang walaupun niat itu harus diurungkan karena celana yang beliau pakai kena pipis Guntur yang tadi dipangkunya (M.Hatta, 2015:83, Vol.3). Dalam keadaan terdesak dan genting serba tidak pasti dia masih ingat Tuhan dan memasrahkan hidupnya pada-Nya.
Sebuah catatan kecil yang menambah pilu hati kita sebagai anak bangsa yang menikmati kemerdekaan hasil perjuangan beliau, ialah keterangan pada akhir buku Deliar Noer yang memuat pengakuan Bung Hatta bahwa gaji pensiunnya sebagai wakil presiden tidak cukup membiayai rumah tangganya yang beranggotakan lima orang yakni beliau, istri dan ketiga anaknya. Dia pernah menolak kenaikan gajinya sebagai wakil presiden dan mengembalikan uang taktis sebagai wapres saat dia mengundurkan diri dan meletakan jabatannya (Deliar Noer, 2012:171-172).
Saya sering bertanya bagaimanakah kiranya perasaan seorang Bung Hatta yang telah memberikan tahun-tahun terbaiknya bagi negeri ini? Dapatkah kita rasakan beban batin beliau yang harus dua kali menderita malaria tertiana ketika dibuang ke Digoel? Sementara di masa tuanya yang secara ekonomi sederhana, beliau melihat korupsi merajalela? Untuk itu hanya Bung Hatta yang tahu, tapi kita dapat yakin bahwa beliau tidak pernah menyesali pilihannya.
Bung Hatta adalah sosok politisi cum negarawan yang telah mencapai taraf ugahari (Yunani: sophron) seperti yang digambarkan oleh filsuf Yunani kuno, Platon dalam bukunya Xarmides. Seorang sophron berarti seorang yang telah mampu mengawinkan pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis, seorang yang tahu malu, tidak ugal-ugalan dan santun (Setyo Wibowo, 2015:14). Bung Hatta adalah sosok yang tahu batas dan dengan sadar dia memilih tidak melanggarnya, meskipun batas-batas itu terkadang tidak masuk akal bagi orang lain. Kepribadian dan sikap Bung Hatta tetap meninggalkan tanda tanya bagi kita, seperti yang dituliskan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengantar memoarnya (Taufik Abdullah, 2015:XXIII).
Saya sering bertanya dalam hati apakah akan ada lagi pemimpin sekelas Bung Hatta yang setia pada prinsip keilmuan dan keagamaannya? Seorang penguasa yang tahu batas dan memilih untuk menahan diri dari godaan kenikmatan? Menjadi penguasa memang diberi dan dilengkapi dengan fasilitas yang semuanya dibiayai oleh negara. Namun seorang penguasa yang tahu batas tidak akan memuaskan diri  dengan alasan itu sudah haknya.
Pertanyaan di atas nampak pesimistis, seolah tidak ada lagi yang baik di tengah gemuruh politik dan perebutan kekuasaan negeri yang diwariskan Bung Hatta dan teman-teman seperjuangannya. Namun, pesimisme ini memiliki dasar juga dalam fakta-fakta yang sudah diutarakan di atas. Memang pemilihan langsung yang diterapkan di negeri ini sebagai buah reformasi bertujuan untuk menghasilkan pemimpin terbaik.Â
Namun, kita sering sekali dikecewakan oleh mereka yang  terpilih sebab seiring dengan berjalannya waktu terbukti banyak dari antara mereka bukan yang terbaik. Kenapa mereka bukan yang terbaik? Sebab di antara mereka ada yang tampil layaknya seorang raja yang bermental feodal sehingga begitu mereka duduk di kursi empuk ada jarak yang terentang antara rakyat dan mereka.
Pilkada juga membuat kita galau akan perjalanan bangsa ini ke depan. Pilkada yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengukur sehatnya demokrasi terkadang bermutasi menjadi pemecah persatuan dan persaudaraan kita. Syahwat kekuasaan dan semangat strugle to be the fittest, membuat politisi lupa apa sebenarnya makna yang terkandung dalam politik.
Azas kesantunan diabaikan. Rasionalitas dianggap sepi. Perasaan pemilih dipermainkan dengan menghembuskan sentimen daerah dan keagamaan.  Cara-cara seperti ini, nampaknya absen dalam seorang politisi bernama Mohammad Hatta, yang demi tegaknya demokrasi pernah mengeluarkan  maklumat Wakil Presiden, 3 November 1945 (M.Hatta, 2015:115, Vol.3).
Maklumat itu menjadi pertanda bahwa politik harus sebuah wadah partisipasi seluruh rakyat dalam bernegara bukan segelintir orang atau elit.