Keputusan ini didasarkan pada lessons learnt dari krisis Asia di tahun 1998, yang membuktikan munculnya negara-negara sistemik baru dalam tata keuangan global yang semakin terkoneksi, sehingga pembahasan mengenai risiko sistem keuangan global dan cara mengatasinya tidak lagi bisa hanya didiskusikan oleh G7, namun harus melibatkan para aktor baru.
Lalu bagaimana Indonesia bisa menjadi salah satu negara anggota G20 yang dianggap sebagai forum yang menentukan arah kebijakan global, yang tidak lagi terbatas pada sistem keuangan, namun juga merambah berbagai dimensi lain seperti energi, pangan, ketenagakerjaan, pendidikan, bahkan sosial politik? G20 boleh dibilang adalah forum pengambil kebijakan terpenting dunia saat ini, yang keberadaannya sebagai forum eksklusif menjadi antitesa global governance model Perserikatan Bangsa-Bangsa yang inklusif.
Apakah Indonesia berjuang untuk dapat menjadi anggota G20? Atau hanya sekedar beruntung?
Pertanyaan ini tentunya tidak terlalu relevan bila kita melihat posisi Indonesia saat ini. Berdasarkan data terbaru dari IMF, Indonesia telah menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-17 di dunia dengan GDP mencapai 1,2 trilyun USD (berdasarkan current prices), dan bahkan peringkat ke-7 terbesar di dunia bila dilihat dari daya beli, dengan GDP lebih dari 4 trilyun USD (berdasarkan PPP). Dengan ukuran ekonomi sebesar itu, yang tentunya diikuti dengan bertambahnya soft dan hard power Indonesia dalam kancah pergaulan internasional, wajarlah bila Indonesia kini menjadi bagian de facto dan tak tergoyahkan dari G20. Apalagi selama menjadi bagian dari G20, Indonesia telah menjadi inisiator dan menghasilkan berbagai kebijakan global yang penting, terutama bagi negara berkembang dan emerging.
Namun dunia di tahun 1999 adalah masa yang sangat berbeda. Indonesia saat itu sedang terpuruk dan mengalami krisis multidimensi. Setahun sebelumnya, GDP Indonesia terkontraksi hampir sebesar 14 persen. Indeks saham jatuh hingga separuhnya, inflasi melonjak dan nilai tukar rupiah terjun bebas. Gelombang PHK menggoyahkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Lembaga rating mengkategorikan utang jangka panjang Indonesia sebagai junk bond yang menunjukkan ketidakpercayaan pasar global terhadap kemampuan Indonesia untuk keluar dari potensi default.
Di saat yang bersamaan, krisis ekonomi di Indonesia juga diiringi dengan gejolak sosial di berbagai wilayah yang membuat masyarakat internasional berspekulasi akan terjadinya Balkanisasi di Indonesia (mengacu kepada fenomena pecahnya negara multietnis seperti Yugoslavia menjadi negara-negara kecil). Indeks kohesivitas sosial di Indonesia saat itu berada pada level yang yang sangat rendah mendekati kategori sebuah negara gagal.
Dari aspek sistem keuangan dan ekonomi, Indonesia di tahun 1999 juga bukanlah sebuah negara yang terkoneksi dengan baik terhadap sistem keuangan global maupun global supply chain, bahkan relatif jauh bila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya seperti Singapura, Malaysia dan Thailand yang lebih dahulu terglobalisasi. Dengan kata lain, asumsi bahwa Indonesia dipilih menjadi anggota G20 karena merupakan negara sistemik dalam sistem keuangan global juga menjadi tidak tepat.
Namun terlepas dari semua itu, sejarah mencatat bahwa Indonesia lah yang menjadi anggota G20, bukan Thailand, Malaysia, atau Singapura. Untuk mengetahui lebih jauh perjalanan Indonesia menjadi anggota G20 kita akan flash back ke masa lampau.
Dipicu Krisis 98
Di pertengahan bulan November 1997, di awal bergulirnya krisis keuangan di Asia, para pejabat kementerian keuangan dan bank sentral dari 14 negara Asia Pasifik termasuk Indonesia berkumpul di Manila untuk membahas upaya menstabilkan sistem keuangan kawasan yang mulai goyah saat itu. Salah satu keputusan pertemuan tersebut yang dikenal sebagai Manila Framework Group adalah menyepakati paket bantuan pendanaan internasional untuk membantu beberapa negara mengatasi krisis.
Namun hanya seminggu setelah pertemuan tersebut, semakin banyak yang menyadari bahwa krisis yang terjadi tidak hanya terbatas di kawasan Asia saja, namun merambat ke negara-negara emerging di berbagai belahan dunia, dan bahwa skala krisis yang terjadi jauh lebih masif dari yang dibayangkan. Karenanya dalam KTT APEC di Vancouver di akhir bulan November, Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong meminta kepada Presiden Amerika Serikat Bill Clinton untuk menyelenggarakan pertemuan khusus para menteri keuangan dunia untuk membahas krisis yang terjadi.