Mohon tunggu...
Herfa Memory
Herfa Memory Mohon Tunggu... -

Writing perfectly completes my whole life.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kau, Iya atau Tidak

20 Juni 2012   08:54 Diperbarui: 13 Juli 2015   17:52 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Iya.”

“Tidak.”

“Iya.”

“Tidak.”

Kami diam. Saling bertatapan namun kosong. Aku bisa melihat sorot mata hampa di balik ke dua bola mata cokelat yang ia punya. Dan aku yakin, dia juga merasakan hal yang sama.

“Tidak.”

“Iya atau aku pergi.”

“Tidak.”

“Sekali lagi ku katakan, iya atau aku pergi.”

“I…ya. Jangan pergi…”

Lagi-lagi aku mengalah, bukan kalah. Atmosfer kekosongan antara kami selalu berakhir pada somasinya dan ditutup oleh permohonan ku. Dia berhasil memutar balik pikiran ku, seperti pengendara mobil di area balap yang mahir membanting stir. Dan aku akhirnya hanya bisa terduduk, menunduk.

Setelah perdebatan tadi, ia memilih untuk pergi mengambil udara malam di luar sedangkan aku hanya diam di samping bocah kecil yang tertidur pulas di bawah cahaya lampu kamar. Kedua matanya tertutup rapat. Nafasnya berirama begitu teratur. Aku bisa melihat kepolosan di wajahnya. Kesucian yang belum pernah ternoda. Rasanya ingin sekali menangis, berteriak dan menjerit pada dunia akan ketidakadilan hidup. Kepala ku setiap malam bahkan seperti akan pecah dan meledak. Berat sekali…

“Besok pesawat berangkat jam delapan. Baik-baik di rumah.”

Begitu kalimatnya sebelum tidur. Meski yang terakhir ia ucapkan terdengar manis namun aku tidak merasakan jiwanya pada kata-kata itu. Terus menerus kosong dan hampa. Seperti robot yang mata dan hatinya tidak pernah ikut berbicara dengan mulutnya.

“Iya.”

*

“Ayah mau ke mana?” kata-kata itu keluar dari mulut seorang anak laki-laki berusia lima tahun begitu melihat sosok ayah yang ia kagumi sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper besar. Lagi-lagi ia menatap kosong. Ia memeluk tubuh mungil anaknya sambil mengelus rambutnya yang lebat,”Nanti kita bertemu lagi. Oke?”

“Oke.”

Aku yang menyaksikan adegan pagi itu dari balik tembok pembatas antara kamar dan ruang tamu hanya bisa menahan air mata yang akan tumpah. Kali ini sudah tidak bisa ditahan lagi. Dada ku rasanya sesak melihat gurat keraguan di wajah anak ku atas kalimat sang ayah.

“Ayah siap-siap dulu. Sebentar lagi kita ke bandara.”

Ia mengangguk.

“Ibu, ayah mau ke mana? Kerja?”

Giliran aku yang mengangguk.

“Tapi ke mana? Mengapa kita tidak ikut?”

Ku tatap matanya dalam-dalam begitu menangkap pandangan dari laki-laki yang akan pergi pagi ini. Ia memperhatikan ku dengan anaknya. Sama seperti saat aku memperhatikannya dengan anak ku,”Tidak boleh. Nanti kerjaan ayah terganggu. Ayo siap-siap!”

Anak kecil yang sebenarnya tidak mengerti maksud kata-kata ibunya barusan, berjalan lesu menuju mobil sambil memeluk robot super hero hadiah ayahnya seminggu yang lalu. Senyumnya menghilang di telan bumi. Benar-benar tidak tega melihatnya.

“Aku sudah bilang iya tapi kau tetap pergi. Jadi sebenarnya aku harus jawab apa?”

“Aku tidak tahu.”

“Tadi dia menangis. Ia ragu bahwa kau akan kembali padanya…pada kami…”

Ia bangkit sambil membawa kopernya menuju mobil, aku mengikutinya dari belakang. Ia terus-menerus diam seakan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Selalu saja lepas tangan.

“Dadah Ayah! Dadah….!” teriak anakku sambil melambaikan tangan mungilnya melalui kaca besar yang membuatnya melihat sebuah pesawat besar membawa ayahnya terbang. Aku memeluknya dari belakang, mencoba menenangkan emosinya yang sedang diambang batas,”Apa ayah akan kembali?”

Aku mengangguk.

“Kapan?”

Aku menggeleng.

*

“Iya.”

“Tidak.”

“Iya.”

“Tidak.”

Waktu ternyata sudah berlalu belasan tahun. Anak ku sudah besar, anak mu. Kami berdebat, sama seperti dulu saat aku berdebat dengan mu. Sudah ku duga, ada gen keras kepala yang menurun di dalam darahnya. Dan aku tidak bisa melawannya, meski ia anak ku.

“Tidak.”

“Iya atau aku pergi.”

“Tidak.”

“Sekali lagi ku katakan, iya atau aku pergi.”

Aku diam. Ia yang sudah berumur delapan belas tahun pun ikut diam. Bisa ku baca melalui matanya bahwa ia bingung mengapa aku hanya diam tanpa jawaban pasti. Ia pasti tidak mengerti mengapa kebisuan seperti menyerang ku tiba-tiba.

“Kenapa Ibu diam? Katakan iya atau aku akan pergi bersama teman-teman ku yang nakal.”

Hanya tatapan mata dalam-dalam yang kuberikan padanya. Berharap anak satu-satunya yang ku asuh seorang diri ini akan mengerti tentang isi hati ku. Air mata ku bahkan sudah tergenang di pelupuk mata. Hampir tumpah.

“Ibu?! Kenapa diam?”

“Ibu tahu, iya atau tidak, kau akan tetap pergikan? Sama seperti ayah mu dulu…”

“Maksud ibu?”

“Ibu hanya takut kehilangan dirimu…Sama seperti ibu kehilangan ayah mu…”

Bocah kecil yang dulu ku peluk hangat sekarang telah menjadi remaja yang membiarkan ku menangis di pundaknya. Ada kehangatan yang sama seperti ketika dulu aku bersama ayahnya. Genggaman tangannya pun erat seperti genggaman laki-laki yang sangat ku cintai hingga detik ini meski sosoknya entah berada di mana.

“Ayah pasti akan kembali Bu. Pasti kembali…”

Aku menggeleng,”Tidak. Ia sudah menikah dengan wanita lain dan tidak akan kembali.”

“Tidak.”

“Iya.”

“Tidak.”

“Iya.”

“Iya Bu…”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun