Mohon tunggu...
Ria Ria
Ria Ria Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

tidak berpikir kecuali harus berpikir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Takut

15 Desember 2013   11:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

49 tahun, mengenakan daster, berteriak-teriak pada tetangga yang ketakutan.

Buat apa Bu?

50 tahun, menikah dengan gadis muda, menempatkannya di gubuk dekat rumah.

Buat apa Pak?

Aku menundukkan kepala. Menghindari tatapan tajam bocah-bocah yang lewat. Menghindari celoteh mereka yang terlalu jujur. Ya! Kadang-kadang aku lebih menyukai senyum palsu orang dewasa.

“Woi, ada orang Afrika!” mereka menunjukku tertawa-tawa.

Jahat. Mereka menertawaiku. Aku jahat. Aku malu menjadi serupa orang Arika. Benar, kulitku hitam, rambutku keriting, dan bibirku tebal. Kuteriaki mereka serupa ibuku meneriaki para tetangga.

Enyah! Enyah!

Berbaju lusuh. Berkeringat. Hendak mengambil sekop setelah lelah seharian menarik becak.

Mas!

“Mas, minum dulu!” suguhku.

Masku tersenyum. Kemudian memukul meja dengan gelas yang kusodorkan

Prang!!! Ibu!

Kutengok dapur, kuperhatikan matanya yang tua. Tanpa ekspresi.

“Sudah, Bu!” teriakku.

Tapi itu hanya teriakan di dalam hatiku.

Mas menatap Ibu. Aku tahu Mas mengatakan apa! Terlalu tahu.

“Ceraikan saja, Bapak!” kata Mas dalam hati. Tapi dia juga tahu semua ini milik siapa.

Perempuan itu, tiga tahun lebih tua dari aku. Bertampang polos. Hitam legam sepertiku. Sekarang dirinya terkunci dalam gubuk sebagai istri kedua Bapakku.

Mbak, apa kamu tak punya malu?

Lalu datanglah ia. Berbaju penuh peluh setelah seharian lelah bekerja. Bapak mengipas-ipaskan topinya.

“Dapat berapa orang hari ini, Pak?” tanyaku.

Bapak menceritakan dia hanya mendapatkan tiga orang. Tapi semuanya turis. Dikayuhnya becaknya kuat-kuat untuk mengantarkan turis bule yang berbadan besar-besar itu. Kuambilkan minum.

“Minum dulu, Pak!” kataku sebelum dia mulai menggarap sawah.

Mas menatapnya sinis.

“Ceraikan Ibu!” begitu teriak Mas dalam hati.

“Tidak! Usir perempuan itu!” jeritku padanya.

“Ngomong apa, kamu, dek?” tanya Mas.

Kujelaskan pada mereka duduk perkaranya. Apa yang istimewa dari penjelasan lulusan SMP sepertiku? Luar biasa. Mereka berteriak-teriak histeris. Ibu masuk dan melerai Mas dan Bapak. Mas keluar rumah dan menendang becaknya. Bapak menampar Ibu. Ibu menjerit-jerit.

Kakinya penuh koreng dan meskipun kami sama-sama hitam, aku yakin aku lebih cantik. Aku juga lebih pintar karena dia hanya lulusan SD.

Di dalam gubuk itu, ditimangnya bayinya. Dibuainya lembut.

Kuambil bayi itu. Kuletakkan di ranjang. Kujambak rambut ibunya. Dia menjerit-jerit. Tak kuhiraukan lagi apakah para tetangga mendengarnya. Tak kuhiraukan bocah-bocah yang akan mengejekku. Tak kuhiraukan lagi permohonan maafnya.

Aku begitu takut Bapak meninggalkan kami.

“Mati, mati kau! Aku jaga keluargaku sampai mati!”

13870812381675787355
13870812381675787355

pic: http://www.yoursecretname.com/wp-content/uploads/2012/06/This_Is_Me__Afraid__by_naaera-300x225.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun