Mohon tunggu...
Herdy M. Pranadinata
Herdy M. Pranadinata Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Penulis

Hanya guru biasa,di pinggiran Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat Imajiner Untuk Ibunda

1 Juli 2011   13:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Untuk, Ibunda Terkasih

Ibunda, hari ini genap setahun kau meninggalkan kami di sini, kepergianmu yang diam-diam waktu itu, menyisakan luka yang teramat dalam  bagi anak-anakmu. Di usia yang tak lagi muda, sebuah keputusan sulit telah kau pilih, terbang ribuan mil hanya untuk menenangkan diri dan menghindar dari semua peristiwa pahit yang tiba-tiba datang menghancurkan kehidupan kita.

" Nak izinkan aku untuk pergi". Katamu senja itu

" Tidak, apa yang hendak ibu cari, tetaplah bersama kami apapun yang terjadi ". Jawabku sendu

" Ibu hanya ingin lebih dekat padaNya dan semoga bisa membantu bebanmu, karena kamu tidak bersalah. " Jelasnya

" Tapi itu bukan pilihan terbaik bu, biarlah semua ini kita hadapi dengan tabah ". Tegasku

Percakapan sore itu, ternyata perbincangan kita yang terakhir, tiga hari kemudian, sebuah kabar pahit datang, dirimu tetap pergi tanpa restu kami. Hanya sebuah pesan singkat lewat teman pengajianmu. " Jangan khawatir, mungkin ini jalan terbaik bagi kita". Itulah pesan terakhirmu.

Sejak itu, kami berusaha mencari keberadaanmu, tujuannya hanya satu, membawamu pulang kembali dan berkumpul bersama kami. Sayang, setelah sebulan kami menemukan alamatmu di sebuah tempat pengiriman TKI, dirimu tetap berkeras tak mau pulang dan memilih untuk tetap pergi ke sebuah dunia yang teramat asing dengan segala berita miring yang selalu kami dengar. Inilah penyesalan terbesar kami sepanjang hidup, tak mampu meyakinkanmu untuk tetap bersama kami apapun yang terjadi.

Ibunda, saat hari lebaran lalu, kami hanya bisa menangis dan merindukanmu. Tak ada lagi masakan-masakan lezat yang selalu kau hidangkan, tak ada lagi senyuman manismu saat menyambut kami dan cucu-cucumu di pintu itu. Dan tahukah kami begitu terpukul saat mereka menanyakanmu.

" Ayah, nenek ke mana.?"

" Nenekmu, pergi jauh Nak." jawabku terbata sambil memeluknya

Sejak itu, pertanyaan yang sama selalu kami dengar dari mulut mereka  dan kami tak bisa menjawab  selain menghibur mereka.  " Satu hari nenek akan pulang, membawakan banyak buku-buku dongeng untuk kalian". hanya itu yang bisa ku katakan. Tahukah Ibunda, hari-hari bagi kami terasa begitu panjang, saat  televisi dan koran mengabarkan tentang berita-berita yang muram dari sana, hati kami begitu tersayat, ketakutanpun begitu menjadi-jadi, kami khawatir Ibunda yang teramat kami kasihi diperlakukan tidak manusiawi oleh mereka yang menganggap para pekerja sebagai budak. Kadang kami hanya menyesali diri, mengapa tidak bisa memaksamu waktu itu untuk kembali ke rumah. Kini, kami berusaha tak menonton berita di televisi, tapi ternyata ini tak mampu mengobati kerinduan dan kekhawatiran kami padamu. kalau saja, waktu bisa diputar ke belakang, kami akan melakukan apapun untuk menghalangi kepergianmu.

Tiga bulan yang lalu, akhirnya kami bisa tahu kabarmu lewat sebuah surat, saat itu kami di sini seakan berjumpa denganmu, meski singkat surat yang mengabarkan Ibunda baik-baik saja di sana mampu sedikit mengobati kerinduan kami, tapi yang membuat kami malah bersedih adalah kalimat terakhir yang kau tulis. "Nak, meski ibu baik-baik saja di sini, tapi ibu sesungguhnya sangat ingin pulang, ternyata negara ini tidak terlalu bersahabat untuk ibu dan kawan-kawan, do'akan saja tidak akan terjadi apa-apa yang menimpa ibu". Tulismu

Setelah membaca surat itu, sungguh kami makin khawatir,lagi-lagi kami tak bisa berbuat apa-apa, hanya pasrah dan menunggu dengan cemas, hingga ibunda kembali kepangkuan kami. Kami hanya bisa berdo'a semoga Tuhan selalu melindungi dan memberikan hidayah agar mereka selalu mengasihi seperti anak-anakmu di sini. Dan semoga kepergianmu yang sementara ini menjadi perjalanan terakhirmu meninggalkan kami.

Ibunda,  lewat surat ini cucu-cucumu menitipkan pesan, mereka rindu diajarimu mengaji saat maghrib tiba, si bungsu bahkan sangat rindu di nina bobokan dan diceritakan dongeng " Sang Kancil".

" Ayah, nenek rindu kami kan" Ujar mereka kompak

" Pasti Nak, nenek sangat merindukan kalian" Jawabku

" Tapi, kenapa lama sekali pulangnya" Tanya mereka

Aku tak bisa menjawabnya Ibunda , hanyabisa  menangis dalam hati dan berkata. "sesungguhnya ayahmupun sangat merindukan beliau Nak". Itu saja yang bisa kami kabarkan Ibunda. Meski hari terasa panjang, kami akan selalu sabar dan setia menunggu kepulanganmu. Semoga surat ini, bisa menjadi teman Ibunda dalam menghadapi kesendirian di negeri orang. Jaga kesehatan dan kuatkanlah hatimu, inilah takdir yang mesti kita jalani. Dari jauh do'a dan pengharapan selalu kami panjatkan tak henti untukmu.

Salam Hormat

Dari Kami yang selalu merindukanmu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun