Tindakan manusia sejak revolusi industri telah menjadi pendorong utama perubahan lingkungan secara global.
Studi Bappenas menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim di Indonesia berpotensi mengurangi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) hingga 544 triliun selama tahun 2020–2024, jika masih menggunakan pendekatan business as usual.Â
Guna mencapai target sebagai negara maju di tahun 2045, Indonesia tengah merumuskan beberapa strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimum bersamaan dengan target iklim untuk mencapai net zero emission 2060 or sooner.
Digadang-gadang, penerapan ekonomi sirkular ini setidaknya akan memberikan efek positif bagi penciptaan lapangan pekerjaan sebanyak 14270 orang, pengurangan emisi sebesar 1,4 juta ton CO2E, penghematan energi sebesar 4,8 juta MWH, penurunan konsumsi air sebesar 252 ribu meter persegi, dan pengurangan sampah sebesar 827 ribu ton (dikutip dalam buku The Future is Circular, 2022).
Mengutip dari Panduan Bioekonomi Sirkular yang diterbitkan CIFOR ICRAF, 2021, Apa itu bioekonomi sirkular? Bioekonomi sirkular adalah perekonomian yang digerakkan oleh alam.
Ini merupakan model ekonomi baru yang menekankan penggunaan modal alam terbarukan dan berfokus pada minimalisasi limbah, menggantikan berbagai produk berbasis fosil yang tidak terbarukan yang saat ini digunakan.Â
Merujuk pada spirit ekonomi sirkular sendiri, sebetulnya ekonomi sirkular mencoba menggiring pola konsumsi manusia untuk mengurangi ketergantungan pada ekstraksi sumber daya alam (baru) sambil meningkatkan waktu yang dihabiskan sumber daya di dalam teknosfer melalui siklus penggunaan alternatif.Â
Konsep ekonomi sirkular termasuk bioekonomi sirkular bertujuan untuk mentransisikan sistem ekonomi saat ini, yang pada dasarnya linier, menjadi sistem ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Ada banyak definisi konseptual dari ekonomi sirkular, bioekonomi, dan bioekonomi sirkular, yang menguraikan potensi tumpang tindih dan perbedaan serta mengusulkan interpretasi harmonis yang menekankan pentingnya siklus karbon.Â
Tujuan utama ekonomi sirkular adalah untuk memperlambat, mempersempit, dan menutup putaran sumber daya material, yang dibangun di atas dasar energi terbarukan dan material tidak beracun.
Konsep bioekonomi berkelanjutan lebih dari sekadar mengganti sumber daya fosil dengan sumber daya alam terbarukan.
Dibutuhkan input energi rendah karbon, rantai pasokan berkelanjutan, dan teknologi konversi untuk transformasi berkelanjutan sumber daya hayati terbarukan menjadi produk, bahan, dan bahan bakar berbasis bio bernilai tinggi.
Ekonomi karbon sirkular berbasis bio, khususnya, menekankan penangkapan karbon atmosfer melalui fotosintesis dan digunakan secara maksimal.
Ekonomi sirkular mencoba mengurangi ketergantungan pada ekstraksi sumber daya alam (baru) sambil meningkatkan waktu yang dihabiskan sumber daya di dalam teknosfer melalui siklus penggunaan alternatif.
Pengelolaan bentang lahan yang berkelanjutan akan memiliki korelasi negatif terhadap hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, dan karenanya hal ini harus menjadi fokus utama dari setiap intervensi yang berarti untuk mengatasi krisis multidimensi yang saling terkait.Â
Restorasi lahan dan ekosistem akan membantu memperlambat pemanasan global, mengurangi risiko, skala, frekuensi, dan intensitas bencana (misalnya kekeringan, banjir), dan memfasilitasi pemulihan habitat dari krisis keanekaragaman hayati dan konektivitas ekologis untuk menghindari kepunahan dan memulihkan pergerakan spesies dan aliran proses alami yang menopang semua kehidupan di Bumi.
Bioekonomi merupakan perpaduan ilmu biologi dan ekonomi yang diaplikasikan pada bidang perikanan, pertanian, kehutanan.
Analisis bioekonomi memperhatikan pengelolaan sumberdaya lahan, tidak hanya terfokus pada maksimalisasi keuntungan saja namun tetap menjaga kelestarian sumberdaya.
Dari gambar feedback loops between land degradation, climate change and biodiversity loss terlihat bahwa miskinnya hara pada tanah dan buruknya management hidrologi akibat degradasi lahan juga akan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas lahan dalam satuan ekonomi.
Permintaan lahan untuk pertanian dan perkebunan meningkat yang diikuti dengan peningkatan produksi komoditi sawit secara terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya eksploitasi lahan hutan yang melebihi daya dukungnya, akhirnya akan menyebabkan terjadinya deforestation semakin luas.
Garrett Hardin pada tahun 1968 pernah memaparkan sebuah fenomena yang dikenal sebagai tragedy of the commons, situasi di mana sumber daya bersama dipakai dengan serakah tanpa aturan yang menyebabkan kerugian berupa rusak atau habisnya sumber daya atau kepemilikan bersama tersebut.
Tragedy of The Commons tidak bisa diselesaikan secara ilmiah, maupun kesadaran individu. Harus diadakan kebijakan-kebijakan yang kuat dan pelaksanaannya yang tegas oleh pemerintah dan kesadaran manusia akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, dimana manusia sendiri merupakan bagian dari komponen biotik didalam sistem tersebut.
Perekonomian Indonesia yang masih sangat bergantung pada sumber daya alam membuka peluang ekonomi berbasis keanekaragaman hayati menjadi penggerak ekonomi utama jika dikelola secara berkelanjutan.
Menilik dari nilai kontribusinya, sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi telah mencapai sekitar 3,95% pada tahun 2018. Sektor tersebut memberikan kontribusi 13,4% terhadap PDB (Q2-2018).
Dalam penerapan bioekonomi sirkular yang tak kalah menarik adalah terkait penggunaan energi terbaharukan dan sustainable fashion.
Sustainable Fashion sorotan yang cukup menarik. Dalam beberapa tahun terakhir, keberlanjutan telah menjadi yang terdepan dalam beberapa refleksi yang paling menggairahkan dibidang fesyen.Â
Rekapitulasi PNBP dari pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar tahun 2018 berdasarkan laporan statistik Ditjen KSDAE, KLHK sebesar 2004,9 Juta rupiah. Penerimaan negara dari hasil penjualan satwa liar ke luar negeri tahun 2018 tercatat sebesar 3,7 trilyun rupiah.
Dari rekapitulasi tersebut, terlihat bahwa merawat keanekaragaman hayati memiliki prospek bioeconomy. Namun yang perlu diantisipasi adalah munculnya tren satwa liar terus jadi sasaran, dari Jual hidup, awetan sampai kerajinan.Â
Potensi bioenergi di Indonesia cukup menjanjikan. Bioenergi kini menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang tengah dikembangkan secara masif di Indonesia, tidak saja karena sumber energinya mudah ditemukan di Indonesia tetapi juga karena variannya yang beraneka ragam. Pemerintah Indonesia mentargetkan kapasitas terpasang pembangkit berbasis bioenergi mencapai 5,5GW pada tahun 2025.
Merujuk pada 3 konvensi global yang mengangkat isu lingkungan yakni konvensi perserikatan bangsa-bangsa untuk memerangi desertifikasi di negara-negara yang mengalami kekeringan serius dan/atau desertifikasi (UNCCD/ United Nation Convention to Combat Desertification), konvensi rangka kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC/ United Nations Framework Convention on Climate Change), konvensi keanekaragaman hayati (CBD/Convention on Biological Diversity).
Dari ketiga konvensi ini ada irisan yang bisa menyatukan ketiganya yakni konservasi penggunaan dan pemulihan sumber daya lahan berkelanjutan.Â
Pertanyaan mendasarnya mungkinkah Indonesia mampu menuju dalam penerapan model ekonomi sirkular? Jawabannya sangat mungkin pertama melalui peningkatan kapasitas masyarakat, kedua melalui penguatan good governance dan penerapan ESG yang memprioritaskan keberlanjutan lingkungan.Â
Untuk menuju kesana kita perlu adanya upaya behavior change dalam pola perilaku konsumsi menuju pola perilaku konsumsi yang berkelanjutan.
Dengan demikian perilaku dari sektor swasta sebagai sektor hulu atau produsenpun juga akan turut mengikuti pola perilaku yang menerapkan asas efisiensi dan berkelanjutan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya