Mohon tunggu...
Herbert Manurung
Herbert Manurung Mohon Tunggu... Mahasiswa, Pengajar, Penulis, Peneliti -

Menulis itu seni, ide dan gagasan yang anda tulis bisa mengubah dunia. Tulisan juga bisa mengubah hidup kita, menulislah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sokola Rimba: Berawal dari Pelosok Sumatera hingga ke Tanah Papua

12 Januari 2016   18:37 Diperbarui: 4 April 2017   16:30 3586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sokola Rimba bersama Suku Anak Dalam (sumber:www.australiaawardsindonesia.org)

Perawakannya tinggi dan kurus. Pesonanya juga kurang! setidaknya itulah yang saya lihat ketika pertama kali berkenalan dengan beliau pada saat acara Greet & Meet Butet M ''SOKOLA RIMBA'' di aula perpustakaan Freedom Institute. Sebagai sesama orang batak dan boleh dibilang bersaudara karena marga kami sama, saya sangat bangga melihat prestasi dan pengabdian "ito" Butet (ito, dalam bahasa batak artinya panggilan saudara perempuan). Siapa menduga, semangat dan jiwa humanisme yang tumbuh di dalam dirinya telah membuktikan bahwa dia adalah sosok teladan dan inspiratif dalam mencerdaskan bangsa.

Kepeduliannya kepada sesama diawali sejak bergabung di Warung Informasi Konservasi (WARSI) yaitu sebuah lembaga swadaya yang peduli terhadap malasah konservasi hutan di Sumatera. Iapun ditempatkan di bagian pendidikan sesuai dengan tawaran di harian Kompas yang waktu itu sedang mencari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba. Pendidikan yang bukan diperuntukkan untuk orang-orang kota dan juga bukan orang-orang desa, tetapi kepada orang-orang rimba yang masih hidup di hutan belantara! Kehidupan yang masih jauh dari transportasi, televisi, perumahan, industri, bangunan sekolah, buku, perpustakaan, guru, bangku sekolah, komputer bahkan internet. Kehidupan yang juga masih jauh dari kehidupan layak. Meskipun awalnya ada beberapa penolakan dari rekan-rekan kerja, Butet tetap melanjutkan misi mulia tersebut seperti yang saya lihat sendiri di dalam film "SOKOLA RIMBA".

Acara Greet & Meet Butet M "SOKOLA RIMBA" (sumber:www.findncast.com)

Mendengar kata hutan belantara, bagi sebagian banyak wanita adalah sesuatu yang menakutkan, tetapi berbeda dengan Butet. Meskipun banyak rintangan, dan penolakan, dia tetap berjuang habis-bahisan untuk memberikan pendidikan kepada Suku Anak Dalam di Jambi. Semangat yang membara dari wanita ini terlihat dari ucapannya seperti yang dikutip dari Kompas, 2005:39.

"Sejak desembar 1999 sampai mei 2000, aku berputar keluar masuk hutan, terus menerus ditolak dan diusir", kenang gadis berperawakan kurus yang selalu berpakaian kain seperti orang rimba" 

Begitulah curahan hati wanita dengan nama lengkap, Saur Marlina Manurung telah mempertaruhkan hidupnya karena kepedulian kepada Suku Anak Dalam. Keluar masuk hutan dan terus mengalami penolakan demi meraih impian mengentaskan buta huruf anak-anak orang Rimba. 

Kenapa Harus ke Hutan, Butet

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Mereka hidup nomaden dan kehidupan mereka bergantung pada berburu dan meramu, diperkirakan jumlah populasi mereka mencapai 200.000 orang. Kehidupan mereka mulai terganggu oleh hadirnya pihak-pihak yang ingin menguasai tempat tinggal mereka. Hutan yang terus mengalami kerusakan akibat ulah oknum perusahaan yang melakukan konversi lahan hutan menjadi lahan bisnis telah mengusik kehidupan orang-orang Rimba di pedalaman Jambi.

Suku Anak Dalam (sumber:www.goriau.com)

Selain terganggunya kehidupan mereka, Butet juga merasakan betul ketidakberdayaan Orang Rimba yang tidak bisa membaca dan menulis yang sering dimamfaatkan oleh "orang terang". Istilah orang terang adalah sebutan yang diberikan Orang Rimba kepada seseorang di luar komunitas mereka. Orang terang ini sering menipu mereka. Ketidakmampuan mereka membaca dimamfaatkan Orang Terang lewat selembar surat perjanjian. Mereka sering dibohongi dengan imbalan uang yang jumlahnya sangat sedikit. Orang terang mengatakan bahwa selembar kertas itu adalah sebuah penghargaan dari kecamatan, dan mereka diminta untuk membubuhkan cap jempol. Ironisnya, karena buta huruf merekapun nurut saja. Orang Rimba tidak menyadari bahwa itu adalah penipuan.

Teman-teman pembaca, perlakuan yang tidak sepantasnya dari Orang Terang telah membakar semangat Butet. Dia selalu meyakinkan masyarakat rimba bahwa pendidikan dapat melindungi mereka dari ketertindasan dunia luar. Akhirnya keberadaan Butet pun diterima. Butet mengajari mereka membaca dan menulis. Sekolah yang dia dirikan tentu bukanlah sekolah formal seperti yang kita lihat di masyarakat. Sokola Rimba (sekolah rimba) berdiri pada tahun 2003. Sekolah yang tak berdinding yang sifatnya nomaden, kapan saja bisa berpindah. Bahkan jika ditanya dimana lokasi sekolahnya, Butet hanya mampu mengatakan titik koordinatnya saja. Koordinat 01' 05' LS - 102' 30' BT.

Akhirnya berkat kerja keras, semangat pantang menyerah Butet, kehidupan Orang Rimba terselamatkan. Para anak-anak Suku Dalam sudah tahu baca dan nulis. Hal ini sangat terasa ketika mereka melakukan proses jual-beli, membaca akta perjanjian, dan dapat menghitung sehingga tidak lagi menjadi korban penipuan Orang Terang. Dalam cuplikan film "Sokola Rimba", saya melihat sendiri bagaimana seorang anak yang sudah pintar membaca dengan lantang menolak isi perjanjian yang disodorkan oleh Orang Terang. Seketika itu juga air mata Butet menetes di hutan belantara itu. Siapa yang tidak terharu teman-teman pembaca! Perjuangannya bertahun-tahun yang telah dilakukannya telah berhasil menyelamatkan hidup Suku Anak Dalam tidak hanya dari gangguan Orang Terang tetapi juga perubahan kualitas manusia Suku Anak Dalam. 

Apresiasi dan Penghargaan

Berkat kerja keras, semangat pantang menyerah dan jiwa humanis yang melekat dalam dirinya, wanita kelahiran Jakarta, 22 Februari 1972 ini mendapatkan berbagai apresiasi dan penghargaan yang membanggakan.

  • "Man and Biosphere Award" dari LIPI dan UNESCO Indonesia (2001)
  • "Woman of Letters' as one of TIME magazine’s Heroes of Asia (2004)
  • "Women of the Year" di bidang pendidikan oleh ANTEVE (2004)
  • "Asoka Fellowsheep Award" (2006)
  • Pahlawan Generasi Masa Kini oleh Modernisator (2008)
  • Young Global Leader by World Economic forum (2009)
  • Social Entrepreneur of the Year by Ernst and Young (2012)

Pahlawan Asia versi Majalah TIME (sumber:www.zowdiamond.com)

Butet sangat pantas dijadikan sebagai sosok muda inspiratif di bidang pendidikan dan kemanusiaan. Bahkan, mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pernah mengatakan di dalam tulisan artikel yang berjudul "The Making of a Hero", "Every society needs heroes. And Every society has them. The reason we don't often see them is because we don't bother to look." Setiap masyarakat membutuhkan figur pahlawan. Dan setiap komunitas sebenarnya memilikinya, hanya saja kita sering mengabaikannya, itu karena kita sering menutup mata padanya.

Penghargaan "Women of The Year" (sumber:www.gerakpemuda.wordpress.com)

Butet juga masuk ke dalam jajaran wanita berpengaruh versi majalah Globe Asia edisi Oktober 2007. Dia menempati peringkat 11 dari 99 perempuan paling berpengaruh di Indonesia dengan skor 94,7. Dia berada di atas Yenny Wahid dengan skor 94,5. Dan baru-baru ini Butet juga meraih penghargaan dari Magsaysay Foundation di Manila, "Ramon Magsaysay Award". Butet dipilih karena semangatnya untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan masyarakat rimba di Indonesia.

Magsaysay Award 2014 (sumber:www.rmaf.org.ph)

Leadership seorang Butet

Pemilik dua gelar kesarjanaan ini, sastra indonesia dan antropologi Unpad Bandung, telah menjadikannya terampil dalam menjalin komunikasi dan interaksi. Hal ini terlihat bagaimana cara Butet sebelum memberikan pengajaran tulis, baca dan berhitung kepada Suku Anak Dalam. Sembari bergaul dengan mereka, dia mempelajari pola kehidupan Orang Rimba mulai dari pengasuhan anak, hubungan orangtua dan anak, dan hubungan antar anak.

Dalam pola pengajaran, Butet menerapkan cara belajar yang unik. Huruf-huruf dikenalkan dengan bentuk dan cara mengeja yang berbeda. Misalnya huruf A digambar seperti atap, huruf C seperti pegangan periuk, mengucapkan huruf M dengan mulut dikatupkan dan lain sebagainya. Lalu huruf-huruf dirangkai dalam 14 kelompok berpasangan. Metode pengajaran yang diciptakan sendiri oleh Butet disebut dengan metode Silabel. Berkat metode pengajaran ini, Butet dianugerahi penghargaan dari UNESCO Indonesia dan LIPI. Butet merasakan bahwa kaderisasi guru sangat penting, hal ini disebabkan terbatasnya jumlah pengajar Orang Rimba. Kemudian dia memutuskan untuk melatih anak-anak yang sudah mahir untuk menjadi guru. Akhirnya, muncullah 14 orang kader guru angkatan pertama Sokola Rimba untuk menjangkau hutan rimba. 

Sokola Rimba bersama dengan warga Flores (sumber:www.voaindonesia.com)

Setelah berhasil mengembangkan Sokola Rimba ini, selanjutnya Butet berpikir untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan alternatif yang dapat menjangkau komunitas-komunitas di Indonesia yang tidak terjamah oleh pendidikan formal. Yayasan itu namanya adalah Yayasan "SOKOLA". Yayasan ini telah merambah mulai dari pelosok Jambi hingga ke tanah Papua. Daerah lainnya yaitu Flores, Halmahera, Bulukumba (Sulawesi), Pulau Besar dan Gunung Egon, Aceh, Yogyakarta, Makassar, Klaten dan Bantul. Melalui yayasan SOKOLA, Butet telah banyak merekrut orang-orang yang mau diajak menjadi relawan pengajar. Butet sungguh-sungguh mau mengembangkan yayasan SOKOLA menjadi salah satu "kurikulum" alternatif bagi pendidikan khusus.

SOKOLA di Tanah Papua

Setelah menyelesaikan program Masters of Aplied Anthropology and Participatory Development dari The Australian Nationall University (ANU) tahun 2011, Butet kembali ke tanah air untuk mengabdi kembali sebagai Direktur Sokola. Setelah 10 tahun berjalan, mimpi ingin membuka pendidikan di Papua akhirnya juga tercapai. Melalui Ekspedisi Literasi Papua-SOKOLA, bersama dengan dua rekannya, Butet merintis perjalanan ke Papua. Tepatnya di Kampung Mumugu Batas Batu, Asmat. Di tempat tersebut, yayasan SOKOLA masih tetap menggunakan metode Silabel seperti yang sudah diterapkan di Jambi dan beberapa daerah lainnya. 

Sokola Rimba bersama dengan anak-anak Papua (sumber:www.nationalgeographic.co.id)

Teman-teman pembaca, Butet dengan dedikasi tinggi dan ketulusannya untuk menghilangkan buta tulis dan baca di indonesia tanpa membedakan suku, agama dan ras sungguh memberikan inspirasi kepada kita semua. Dia adalah sosok muda yang berjasa dalam bidang pendidikan dan kemanusiaan.

Perjuangan dan kerja kerasnya  sangat layak ditiru oleh generasi anak muda sekarang. Dia adalah jelmaan Kartini yang berjuang mencerdaskan bangsa terutama mereka yang tidak tersentuh oleh pendidikan formal. Hai, anak muda tetaplah berjuang untuk bangsa ini! jangan tanya apa yang sudah negara berikan padamu, tetapi tanyalah apa yang sudah kamu berikan kepada negara ini! Semoga kerja keras, pengabdian dan ketulusan kita berkarya terutama dalam bidang pendidikan dan kemanusiaan akan memberikan manfaat yang besar bagi negara kita ini. 

 

 

Salam,

 

Pendidik

 

Referensi:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun