Graffiti Seni Ekspresi, Merengkuh Imaji dalam Vandalisme
Graffiti lahir dari pemberontakan jiwa, ekspresi membara dan berapi-api yang tak ingin dikangkangi, dikebiri dan dipecundangi.
Merefleksikan cerminan jiwa yang haus sebentuk kebebasan, lepas dari rasa keterikatan akan belenggu dalam tatanan sosial di masyarakat.
Dengan memanfaatkan bidang-bidang kosong, sebagai media kanvas jiwa, yang mana tempat menyalurkan aspirasi terpendam ataupun yang nyata -nyata dibungkam.
Acapkali menyasar sarana publik, Bawah kolong jembatan, Dinding-dinding dari bangunan beton tak bertuan. Gedung pencakar langit berselimut Keangkuhan.
Serta setiap sudut yang dapat merampas penglihatan dan membelalakan mata, akan sebuah keberadaan. Kaum yang ada namun sejatinya tak terlihat dan tak dianggap.
Kaum-kaum bawah kaum yang terpinggirkan, di sela teramat dalamnya jurang kesenjangan sosial yang kian menganga lebar. Seolah menciptakan jarak serta membangun tembok tinggi.
Atau pun sebagai bentuk aksi pemberontakan pada seraut wajah arogansi dari selubung tirani, dalam serangkaian aksi menggurat Vandalisme. Berisi luapan ankara serta bias-bias emosi jiwa.
Graffiti dalam aksi suarakan Protes, Â mendobrak segala batasan serta merobek sekat yang ada, seolah kabarkan pada dunia, perihal setumpuk kekecewaan dan gundukan kekesalan.
Memberi sebentuk isyarat dalam setiap coretan, yang di mana menyampaikan pesan tersirat. Graffiti merengkuh Imaji Liar, bagi mereka yang kenakan pakaian Imajiner.
Jakarta, 26/9/2023
Salam Kompasiana
Hera Veronica Suherman