Jangan Kau Bakar Puisi-puisimu
"Mengapa Kau Bakar Puisi-puisimu...?"
Ujarku tak habis pikir sambil menatap penuh keheranan. Seraya memunguti lembaran-lembaran yang masih dapat terselamatkan. Selebihnya terbakar dan jadi serpihan Debu.
"Bukankah kau menggurat dengan tintanya adalah darahmu, serta embun pikir menetes dari telaga Ilham lalu memercik menghujani kepalamu dan lantas jadi bunga puisi hitam"
Lagi-lagi kau hanya terdiam takada jawaban kudapati sepasang matamu sendu sesendu langit tatkala rembang petang dihunus pedang jingga berdarah merah tembaga.
Masih ujarku "Jangan kaularung puisi-puisimu di sungai Aare menjadikannya perahu kertas nan ringkih sedianya kauhempaskan di sungai teramat jernih
Bahteramu takkan sampai tempat tujuan, melainkan terlebih dahulu karam berselimut diam. Lalu goresanmu lamat-lamat memudar kian samar di semesta aksara.
Kau tertetap terdiam mendekap diam dan diam-diam aku mengamati air muka wajahmu, digelayuti mendung memerah gerimis tak habis sambil merobek puisi.
Jangan kau bakar puisi-puisimu
H 3 R 4
Jakarta, 21/02/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H