Aku di Antara Kahwa dan Hampa
Takada lawan bicara hanya kursi kosong tak terisi, dan tak ada pantat terhempas serta punggung menyandar dengan posisi rileks.
Hanya ada secangkir genangan pekat dengan uap panas masih mengepul liar di atasnya, seolah mengajakku tuk mereguk.
Aku tertegun dihadapan cangkir kopi diam seribu bahasa, mengeja sepi terjemahkan rasa serta memaknai kesendirianku.
Di lalu lalang serta di lintas tubuh hari kujalani dengan serasa tertatih, netraku memahat sedih lucurkan permata bening.
Aku masih terdiam menyaksi bibir cangkir dipagut senyap dan kibasan uap yang lamat-lamat kian tipis lalu lesap dihempas bayu.
Genangan pekat telah dingin sedingin sorot mataku, dikesunyian yang meresap hingga ke pori serta pembuluh nadi matikan hasrat.
Kubiarkan cangkir terisi genangan kahwa tak kuseruput barang seteguk, sebab kenyataan di hidupku jauh lebih pahit.
Dari cairan pekat meski tanpa dibubuhi gula, aku di antara kahwa dan hampa jiwa. Semua kutelan hingga kelak rasa di atma binasa.
H 3 R 4
Jakarta, 23/09/2022