Emak . . . Abah . . . Ujang Hoyong Sakolah
Dari balik jendela rumahnya
Ujang hanya bisa menatap
langkah-langkah bergegas
menuju pintu gerbang dan
memasuki pelataran sekolah
Pekik tawa riang
anak-anak sebayanya
seakan merobek gendang telinga
dan hatinya serasa perih
laksana disayat-sayat sembilu
Menyaksi mereka-mereka
dalam balutan seragam sekolah
amat rapih seraya menggendong
tas di bahu berisi tumpukan
buku-buku catatan ilmu
Hati Ujang meronta-ronta
sedang ia dipaksa keadaan
turun ke sawah membantu abah
di petak-petak sawah garapan
demi kebutuhah harian
Hari demi hari dilalui
Ujang hanya menelan ludah
tenggorokannya sontak terasa kering
sekering tanah tatkala musim
kemarau tiba buat kering sawah abah
Sorot mata Ujang mendadak redup
tak ubahnya nyala lampu patromak
yang nyaris kehabisan minyak
hatinya serasa remuk redam
bagaikan dihantam godam
Lantas hancur menjadi kepingan
seketika kedua bola mata Ujang
runtuhkan hujan dari langit asa
dan harapnya yang tak kesampaian
seiring bulir nestapa dan tetes nelangsa
"Hatinya merintih sedih"
Emak . . .
Abah . . .
"Ujang hoyong sakolah"
H 3 R 4
Jakarta, 21/07/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H