Mohon tunggu...
Hera Veronica Suherman
Hera Veronica Suherman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamen Jalanan

Suka Musik Cadas | Suka Kopi seduh renceng | Suka pakai Sandal Jepit | Suka warna Hitam

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Denyut Nadi Pasar Induk dan Nafas Lelah yang Enggan Takluk

31 Agustus 2021   06:51 Diperbarui: 31 Agustus 2021   06:52 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Katakini.com

Denyut Nadi Pasar Induk dan Nafas Lelah yang Enggan Takluk

Geliat bongkar muatan tak pernah sepi dari hiruk-pikuk, aktivitas para penjaja tenaga serta penjual jasa yang sedari tadi hilir mudik memanggul berkarung beras.

Demi sebungkus nasi, kretek serta kopi yang acapkali menjadi, sahabat sejati tatkala lelah mendekam di raga ditingkahi kuat aroma asam dan kecut keringat.

Ketika daksa didekap sedemikian erat oleh penat, dan mulut terkunci rapat untuk semua kesulitan yang seakan membekap mengajak berdamai dengan keadaan.

Riuh suara gesekan ujung sapu lidi menyapu setiap sudut, dimana didapati bulir-bulir beras terserak. Lalu tak lama butiran beras pun sudah menghuni pengki.

Saban hari ada saja bulir beras yang luruh kendati tak lagi, putih seperti sediakala tampak kusam. Lantaran telah bercampur batu dan serpihan debu.

Hingga rupa beras terlihat dekil dan kotor disingkirkannya, rasa malu mengais beras sisa-sisa. Sebab malu tak sanggup menyumpal mulut-mulut yang lapar.

Malu tak kuasa membuat perut keroncongan menjadi, sekonyong-konyong kenyang. Malu tak dapat membuat asap dapur mengepul dan periuk nasi terisi.

Butiran beras yang tercecer sejatinya adalah kepingan harapan, ditengah kerasnya hantaman kesukaran yang lama mengakrabi dan menjadi karib sejati.

Begitupun dengan para pekerja kasar disekanya keringat, dengan punggung lengan di tengah deru nafas terengah dan lelah merengkuh tubuh buat luluh.

***
Hera Veronica Sulistiyanto
Jakarta 31/08/2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun