Denyut Nadi Pasar Induk dan Nafas Lelah yang Enggan Takluk
Geliat bongkar muatan tak pernah sepi dari hiruk-pikuk, aktivitas para penjaja tenaga serta penjual jasa yang sedari tadi hilir mudik memanggul berkarung beras.
Demi sebungkus nasi, kretek serta kopi yang acapkali menjadi, sahabat sejati tatkala lelah mendekam di raga ditingkahi kuat aroma asam dan kecut keringat.
Ketika daksa didekap sedemikian erat oleh penat, dan mulut terkunci rapat untuk semua kesulitan yang seakan membekap mengajak berdamai dengan keadaan.
Riuh suara gesekan ujung sapu lidi menyapu setiap sudut, dimana didapati bulir-bulir beras terserak. Lalu tak lama butiran beras pun sudah menghuni pengki.
Saban hari ada saja bulir beras yang luruh kendati tak lagi, putih seperti sediakala tampak kusam. Lantaran telah bercampur batu dan serpihan debu.
Hingga rupa beras terlihat dekil dan kotor disingkirkannya, rasa malu mengais beras sisa-sisa. Sebab malu tak sanggup menyumpal mulut-mulut yang lapar.
Malu tak kuasa membuat perut keroncongan menjadi, sekonyong-konyong kenyang. Malu tak dapat membuat asap dapur mengepul dan periuk nasi terisi.
Butiran beras yang tercecer sejatinya adalah kepingan harapan, ditengah kerasnya hantaman kesukaran yang lama mengakrabi dan menjadi karib sejati.
Begitupun dengan para pekerja kasar disekanya keringat, dengan punggung lengan di tengah deru nafas terengah dan lelah merengkuh tubuh buat luluh.
***
Hera Veronica Sulistiyanto
Jakarta 31/08/2021