Tanah Moyangku
Dusun nan asri dengan sawah ladangnya dengan empang dipenuhi ikan peliharaan, lumbung-lumbung padi serta sungai yang mengalir jernih di antara celah bebatuan.
Rimbun belantara sebagai resapan air hamparan sawah bak permadani hijau, selimuti elok paras Bumi. Kian mempertegas pahatan sempurna anugerah yang Kuasa.
Penduduk santun dan ramah mengenal satu dengan lainnya lebur dalam hangat tegur sapa, senyum sumringah terkembang penuh meneriman dengan tangan terbuka.
Alam nan asri melingkupi gunung berdiri tegak memancang mengelilingi udara bersih menyelubungi, dihirup helai udara segar dengan penuh rasa nikmat tak tertandingi.
Sampai satu saat tercetus sebuah rencana menggusur dusun mengganti dengan wajah angkuh kota. Megah dan pongah gedung pencakar seakan hendak mencungkil mata.
Perkotaan dengan bising suasana serta hiruk pikuk jalan raya membuat serasa pecah kepala, serta pening luar biasa. Kehidupan yang serba tergesa serta sikap individualis.
Betapa Uang berkuasa atas segalanya menyingkirkan sebuh kehidupan sahaja dan menggantinya dengan Paras kota dalam denyut nadi serakah si kaya serta.
Berlembar-lembar rencana dalam koper penuh sesak uang miliknya. Guna ditukar dengan lahan nan asri penuh potensi menggelembungkan pundi-pundi rupiah.
Hingga kelak tanah moyangku hanya tinggal sepenggal kisah usang digilas nafsu serakah anak manusia.
***
Hera Veronica Sulistiyanto
Jakarta | 03 Maret 2021 | 15:26
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H