Don't Cry My Baby
Tangisan pecah merobek gendang telinga, seiring bulir air mata mengalir deras. Dari manik mata yang lukiskan derita.
Bocah kecil dalam gendongan tak henti menangis, kenyataan menampar keras sang Ibu yang tak sanggup beli susu.
Kemiskinan sedekat nadinya, kesengsaraan menjadi hembusan bagi nafasnya dan derita menjadi makanannya.
Ketiadaa berdayaan melepaskan diri dari jerat kesukaraan yang terasa menghimpit terbitkan setangkup nestapa.
Sorot mata sendu wajah-wajah kaku, hilangkan seulas senyum pada kulit yang bertambah kisut dalam kerut.
Dalam sorot mata terpahat derita, derita yang tak jemu mengitarinya. Sengsara yang tak lelah menguntitnya.
Tangisan kian melengking, ingin rasanya menyumbat liang telinga agar tak terdengar rintihan kelaparan menyayat hati.
Ah seandainya buah dada deras mengucur air susu yang bisa di sesap dengan lahap yang bisa diseruput dengan nikmat.
Terlemparlah Sang Ibu dalam jurang kesedihan yang dalam, seriring menyelinap perasaan berdosa yang menggunung tinggi.
Seraya mendekap erat buah hatinya dalam pelukkan, lirih bersenandung lamat-lamat guna menenangkan dan menentramkan.
Agar Bocah kecil tertidur lelap dalam dekap, sejenak lupakan rasa lapar yang mendera. Dan mimpikan sungai yang mengalir Air Susu!
***
Hera Veronica
Jakarta | 04 September 2020 | 12:37
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H