Angkot Tua dan Sopirnya
Body angkot sebagian catnya telah mengelupas, memperlihatkan karat-karat yang lekat. Terdapat keropok, retakkan serta penyokkan di sana-sini.
Yang ditutupi dengan dempul tebal, yang akhirnya rengat. Dan lalu membuka kembali lantaran dimakan waktu, seiring telah rentanya usia kendaraan
Angkot berjalan lamban seakan enggan turun ke jalan, melibas aspal mengais secercah harapan. Di antara deru debu jalanan nan lengang.
Sementara sang sopir terus lajukan kendaraan duduk manis di balik kemudi, seraya mata mengawasi sambil sesekali melirik spion kanan-kiri.
Sudah sedari tadi kursi penumpang belum juga terisi, sementara perut sudah minta diisi, guna sarapan pagi awali membuka hari dengan menjemput Rizki.
Tak terhitung Bolak-balik trayek menaikkan dan menurunkan penumpang, sudah menjadi makanan sehari-hari. Meski tubuh di dera lelah teramat sangat.
Namum kali ini teramat sepi, seiring pandemi yang tak jua terhenti. Semantara hidup harus terus laju pulang membawa uang guna disetorkan Istri di rumah.
Wajah-wajah letih bisa terlihat jelas, seiring jerit tertahan, kian sepinya penumpang hari demi hari, Bagaimana bisa bayar setoran jikalau penumpangnya tak ada!
Ujarnya lirih dengan raut wajah sedih, namun ia terus saja melajukan kendaraannya. Bersarang setitik harapan di dadanya meski samar.
Semoga hari ini kursi penumpang terisi penuh, tak kosong melompong. Sehingga ada uang berlebih untuk bayar setoran serta ada sisa yang bisa dibawa pulang.
Dan tak nombok seperti kemarin, semoga...
***
Hera Veronica
Jakarta | 02 September 2020 | 19:42
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H