Mohon tunggu...
Hera Veronica Suherman
Hera Veronica Suherman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamen Jalanan

Suka Musik Cadas | Suka Kopi seduh renceng | Suka pakai Sandal Jepit | Suka warna Hitam

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Sebut Saja Bunga

12 Maret 2020   06:14 Diperbarui: 12 Maret 2020   10:56 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekat Malam
sepekat masa depannya
yang seakan suram
melemparkannya ke jurang
yang paling dalam
"Lembah Hitam"

Surganya...
bagi para lelaki hidung belang
tempat pemuas syahwat
tempat penjaja cinta dan peminatnya
bersua dan bercumbu mesra
di bilik cinta hanyut dalam
pagutan dan desah
diantara temaramnya
pijar lentera rumah-rumah bordir
yang menjadi saksi bisu

Tak ada yang di milikinya
satu-satunya Mahkota
yang paling berharga
telah di renggut paksa
"Bajingan Keparat...!"
Lelaki Tua Bangka
yang tak sudi Ia panggil Ayah...

Sejak saat itu..
hatinya hancur berkeping-keping
rasanya seperti di hujami
ribuan tusukan pedang
Ia menggelepar kesakitan

Sudah Miskin
kehormatan hilang pula
semudah memetik bunga-bunga ditaman
semudah kumbang-kumbang
menghisap madunya
yang tersisa hanyalah ampas

Tangisnya pecah seketika
Ia merintih dan menangis sejadi-jadinya
Ia merasa penderitaan yang amat sangat
Ia seakan berjalan di atas bara
dan Ia rasanya ingin mati saja

Ia merasa menjadi orang yang tak berguna
no food...
no education...
no body's care...
she was very depressed...!

Percuma hidup...
hanya di anggap SAMPAH...!
di pandang rendah
seakan mereka meludah
seakan mereka menelanjangi
seakan Ia mahluk kotor
yang menjijikan
seakan Ia bangkai yang berbau busuk
yang harus di musnahkan
dari muka bumi
"Pelacur tetaplah pelacur"
ucapnya lirih...

Lagi-lagi air matanya berderai
Ia merasa Nasib tak berpihak padanya
Ia merasa sungguh tak adil
Ia terjepit di tengah situasi sulit
membawanya menjadi penghuni
tempat hiburan malam di kota besar ini

Yang memaksanya harus menemani tamu
diantara hingar bingar
dentuman suara musik
yang seakan memecahkan gendang telinga
diantara remang cahaya
yang nyalanya seakan sekarat
diantara kepulan asap rokok
yang sesaki penjuru ruang
dan aroma alkohol yang menyengat
Ia serasa ingin muntah

Lacur apa terjadi
nasi telah menjadi bubur
Ia terpaksa harus mengubur mimpinya
di atas puing-puing kehancurannya
Ia merasa sedemikian kotor
tak ubahnya melati putih
yang terdampar di pekatnya comberan
kendati demikian
Ia menyimpan setitik harap
meski samar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun