Beberapa waktu yang lalu saat dingin di kota Ruteng, saya langsung teringat akan sebuah pengalaman yang sudah lalu. Saat saya pulang dari kos adik perempuan saya yang baru pulang liburan. Di tengah jalan, tepatnya di Natas Labar Motang Tua, saya bertemu dengan mas-mas Jawa. Katanya beliau berasal dari Bandung.
 Saat saya tanya tentang berapa lama dia berada di Manggarai (Ruteng) dia mengatakan bahwa dirinya baru beberapa bulan di sini (Ruteng). Dengan basa-basi sambil makan kue jualannya yang telah saya beli, saya menanyakan pandangan dan perasaannya setiba di Manggarai.Â
Ada banyak hal yang diceritakannya. Dan hal yang paling berkesan menurut saya adalah dia datang hanya dengan modal nekat. Modalnya hanya 5 jutaan. Dari kisahnya saya tahu bahwa dia berani datang selain karena di ajak temannya, juga karena sudah sangat putus asa di daerah asalnya.Â
Dengan modalnya itu, kemudian berani menanggung resiko jauh dari keluarga dan datang ke Manggarai. Di Manggarai, tepatnya di kota Ruteng beliau mulai merintis usaha kecil-kecilan, yaitu menjual kue keliling. "Pada awal saya datang mas, karena sudah punya tekat untuk buka usaha kecil-kecilan, saya pasrah pada Allah.Â
Saya yakin bahwa saya akan menghadapi banyak tantangan dan pesaing berat tapi kalau Allah berkehendak maka pasti semuanya terjadi." Setelah beberapa kali keliling kota Ruteng, beliau akhirnya dengan cepat menemukan inspirasi untuk membuka usahanya. "Di daerah saya banyak penjual keliling mas, di sana tidak hanya menggunakan kendaraan, jalan kaki pun baik.Â
Sampai di sini, saya jarang lihat orang Manggarai yang jual-jual seperti ini." Setelah melihat peluang ini, beliau akhirnya memutuskan untuk membeli satu gerobak untuk jualan dan mulai berusaha. "Dalam sehari, saya bisa dapat Rp. 200.000-300.000 mas. Ini hasil bersih dalam sehari."Â
Jujur saja saya kaget mendengar kisahnya. Saya masih ingat beberapa teman saya bulan lalu mengeluh karena tidak adanya lowongan kerja di Manggarai. Katanya dia sudah bosan hanya dengan bertani. Lagi pula, cerita tentang pengangguran di Manggarai sudah sejak lama saya dengar.Â
Memang benar bahwa tingkat pengangguran di Kabupaten Manggarai lebih rendah dari Manggarai Timur tetapi itu pun lebih tinggi dari Manggarai Barat. Mungkin agak panjang kalau saya membahas terkait pengangguran secara data. Akan tetapi saya menyayangkan satu kenyataan bahwa orang-orang pendatang rupanya lebih pandai melihat kondisi dan peluang di Manggarai daripada orang Manggarai sendiri.
Pada saat orang Manggarai mengeluh terkait ketidak-adaya lapangan pekerjaan, justru orang-orang perantauan melihat peluang usaha yang besar di Manggarai. Walaupun tanpa data, tetapi fenomena sosial telah menunjukkan pada saya bahwa sifat konsumerisme orang-orang Manggarai lebih tinggi daripada jiwa kewirausahaannya.Â
Kita lebih senang melihat senyuman orang-orang pendatang yang tersenyum bahagia karena dagangannya laku dibandingkan ikut terlibat dalam jalan mereka sebagai wirausahawan. Apakah karena kita terlalu sering menyebutkan 'masalah' sehingga akibatnya kita selalu melihat masalah daripada peluang kerja.
Di Natas Labar Motang Rua bahkan yang berprofesi sebagai penjual adalah orang-orang pendatang, sedangkan orang-orang Manggarai lebih senang buang uang. Bahkan kopi yang katanya adalah suatu produk pertanian di Manggarai tetapi yang menjual kopi di Natas Labar adalah bukan orang asli Manggarai. Pertanyaannya adalah mengapa bukan orang Manggarai yang berjualan di sana? Apakah orang Manggarai tidak tahu cara menjual?Â
Menurut saya, tanpa melakukan analisis atau penelusuran lenih jauh, tetapi fenomena sosial telah menunjukkan itu pada saya. Saya melihat adanya sifat gengsi yang tinggi dari orang-orang Manggarai. Sifat konsumerismenya lebih tinggi. Dia lebih suka membeli jajanan daripada harus menjual itu kepada orang-orang.Â