Mohon tunggu...
rha hera
rha hera Mohon Tunggu... -

jangan pernah bosan untuk tau apa yang telah kamu ketahui

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

4 Cahaya Dunia

15 Oktober 2013   16:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:30 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

4 Cahaya Dunia

Ribuan manusia mendesak masuk kedalam sebuah ruangan yang sangat luas, alangkah terkejutnya saat ribuan mata itu tidak dapat melihat setitik cahayapun, mereka melangkah tak tau tujuan yang pasti. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat setitik cahaya berkedip-kedip, ribuan manusia itupun berbondong-bondong untuk mencapainya. Aku dan ke delapan temanku berada diantara mereka, kami bersembilan saling menggenggam tangan satu sama lain. “ kita tidak boleh berpisah, kita harus sama-sama mencapai cahaya itu.” Seru Liana

Rasa takut menyelimuti jiwa-jiwa yang berada di dalam ruangan yang amat sangat gelap dengan setitik cahaya dari kejauhan yang menjadi naungan kami untuk bisa melangkahkan kaki. Suara riuh dan gaduhpun menegangkan setiap raga kami, berbekal mata hati yang menuntun kami untuk terus melangkah berdesakan diantara ribuan manusia. Dan kini tubuhku telah bermandikan keringat, sepasang kaki yang terus berjalan mulai tak bersahabat.

“Aku lelah, berapa mil lagi cahaya itu di depan mata kita” keluhku

“Entahlah Akupun merasakan apa yang kamu rasakan”sahut Zhania

Ketika aku dan teman-temanku mulai mempercepat laju kaki salah satu dari kami melepaskan genggamannya, dia tak sanggup bedesakan diantara ribuan manusia dan dia memutuskan untuk mengakhiri permainan ini.

“Kirai, kenapa?”tanya Tia

“Aku memilih mundur, permainan macam apa ini. Kita bisa mati diinjak ribuan kaki mereka”kata kiran emosi. Dan kami yang mendengar ucapan kirai tidak bisa berbuat apa-apa. Dan akhirnya kami mengikhlaskan kemunduran kirai.

Kulihat cahaya itu semakin kecil seakan ia akan redup dan tanpa peduli berapa banyak manusia yang belum mencapainya. Dengan sisa tenaga yang kami miliki cahaya redup itu kami kejar, berlari terus melaju tanpa peduli kaki ini mengiba untuk berhenti. Kami tidak peduli berapa banyak manusia yang kami terobos dengan kasar.

“Cahaya itu harus kita dapatkan jangan menyerah teman-teman.” Teriak Zefa

Kami tercengang tak percaya, kubuka lebar-lebar mata ini bahkan kedua tanganku turut membantu mengisik kedua mataku yang tak lagi melihat apapun. Cahaya itu padam, kami gagal mendapatkan cahaya pertama. Tidak sedikit orang yang mendapatkan cahaya itu, mereka kembali dengan bekal cahaya yang sangat berharga.

Di dalam kegelapan kami berdelapan berjalan kesana kemari dengan harapan adanya cahaya selanjutnya. Di dalam ruangan itu kami memikirkan seribu macam cara agar kami bisa mendapatkan cahaya selanjutnya dengan cepat.
“Cahaya lagi.” Teriak salah seorang dari ribuan manusia itu. Dan mereka bergerak menuju arah kami, mereka berlalari dengan cepat dan siap menghadang apapun yang menghalanginya. Ketika aku alihkan pandangan kelawan arah ternyata cahaya itu tak jauh dari tempat yang kami hentakkan, dengan cepat kami menuju cahaya itu. seperti cahaya pertama cahaya ke-2pun sama, semakin mendekat cahaya itu semakin redup. Selangkah lagi kami mendapatkannya, cahaya itu nyaris lenyap di hadapan kami dengan kecepatan tangan liana dan zefa berserta ratusan orang lainnya cahaya itu berhasil mereka dapatkan, tapi tidak untuk aku dan kelima teman-temanku.

“Tuhan tidakkah kau berbelas kasihan pada kami”makiku dalam hati

Wajah Liana dan Zefa terlihat berseri-seri dengan cahaya yang mereka genggam mereka dekatkan didepan wajah mereka.

“Teman-teman Kami berhasil mendapatkan cahaya ini”ucap Liana.

Dengan hati-hati mereka mengantungi cahaya itu, kami ikut senang dengan keberhasilan liana dan zefa walaupun rasa senang yang kami rasakan tidak sama dengan rasa senang yang liana dan zefa rasakan.

Kami masih berdelapan untuk mencari cahaya ke-3, liana dan zefa masih tetap bergabung bersama kami untuk sama-sama mendapatkan cahaya berikutnya.

“Ruangan ini semakin sesak saja”Keluh Vita.

“Bagaimana tidak sesak, jumlah kami bertambah banyak. Orang-orang terdahulu yang tidak mendapatkan cahaya di zamannya kini kembali bergabung bersama kami.”

Cahaya ketiga berbeda dengan cahaya sebelumnya pancaran yang dipancarkan cahaya itu menerangi setiap penjuru ruangan ini, penglihatan yang sedari tadi gelap dibuat silau olahnya dan dapat kami lihat hamparan manusia dengan jelas. Ribuan mata manusiapun mulai mencari titik pusat cahaya yang terang menderang itu. Kami berjalan pasti mengarungi setiap penjuru ruangan yang sesak itu.

Tibalah ribuan manusia itu dititik pusat cahaya ketiga. Perlahan genggaman tanganku dan teman-temanku terlepas satu sama lain, baru kusadari untuk mencapai cahaya itupenuh dengan teka-teki gila. Jika aku melangkah dengan benar maka satu langkahku sama dengan empat kali aku melangkah, dan apabila salah maka aku akan selangkah menjauh dari titik pusat itu. Keberadaan aku dan teman-temanku mulai menjauh, aku terus melangkah tak peduli dengan kesalahan yang aku perbuat.

“Tuhan berilah aku kesempatan untuk mendapatkan cahaya itu.”

Aku telah terpisah jauh dengan teman-temanku entah dimana posisi mereka saat ini. Dan aku tidak dapat melangkah lagi semuanya kembali gelap seperti semula.

“Gagal dan selalu gagal.”bentaku geram.

Aku gagal seperti sebelumnya tuhan tidak ingin memberikan cahaya setitikpun untukku. Aku tumpahkan air mata yang membendung ini. Aku menangis, ku peluk raga ini dengan erat pupus sudah impianku selama ini. Dan sekarang siapa yang harus aku salahkan. Doaku kah, usaha yang telah aku lakukan, atau mungkin tuhan yang tak mendengardoaku selama ini. Langkahku mulai tak bertenaga kuhapus air mata yang membahasahi pipi ini, dan ku coba untuk tegar.

Aku rapatkan kedua mataku, karna percuma saja jika kubiarkan sepasang mata ini terus terbuka. Tak ada cahaya, maka tak ada keindahan dunia yang dapatku lihat. Sontak tubuh ini berputar 900 saat sebuah telapak tangan mendarat di pundakku. Pipi yang telah kering ini kembali terbasahi, aku tak dapat menahan butiran-butiran air mataku berhamburan keluar, saat dua oarang di hadapanku menggenggam cahaya ketiga. Zefa dan zhaina, mereka menangis bahagia, mereka memeluku dengan penuh kasih sayang. Setidaknya pelukan mereka sedikit mengobati pedih yang membalut hati ini. Tidak lama kemudian teman-temanku yang lainnya menghampiri kami.

Liana, zefa dan zhaina memutuskan untuk kembali dengan cahaya yang mereka dapatkan.

“Teman-teman kami harus kembali tetaplah semangat untuk mendapatkan cahaya ketiga”kata zefa

Sebelum mereka beranjak pergi, mereka memeluk kami satu persatu. Ketika mereka menjauh, kami mulai kehilangan mereka, dengan cepat aku memenggil dan mengejar mereka, langkah merekapun terhenti.

“Ada apa tiara”sahut zefa.

“Aku ingin ikut kalian”kataku dan menghampiri mereka.

“Tanpa cahaya”zhaina menatapku meminta penjelasan

“Iya, aku lelah tak sedikitpun cahaya yang aku dapatkan”jawabku tegas.

Kemudian zefa mengulurkan tangannya “Temanku genggamlah tanganku, kejaplah sekejap matamu dan lihatlah cahaya telah menunggumu.”ku genggam erat tangan zefa

Aku hanya bisa menangis dalam kegelapan, teman-temanku mendengar isakanku yang terasa pedih. Perlahanku lepaskan genggaman tangan zefa dan mereka kembali melanjutkan langkahnya.

“Ayo tiara!”cathy menarik tanganku

“kita harus mendapatkan cahaya itu”lanjut tia.

Kami berlima berlari menuju cahaya keempat, tanpa kami sadari kirai telah berada disamping kami “kirai kamu masih disini?”kata dina dan membuat kami terkejut.

“Aku tidak bisa hidup tanpa cahaya.”kirai memfokuskan pandangannya.

Langkah kami terhenti tepat didepan cahaya keempat, dengan tenang kami merih cahaya yang sederhana itu dengan mudah.

“Terima kasih tuhan”kataku bahagia.

Kupandangi cahaya yang telahku dapatkan itu. Walaupun Cahaya itu tidak sebesar cahaya yang liana, zefa dan zhania dapatkan Tapi aku yakin dengan sendirinya cahaya itu akan membesar sebesar cahaya yang telah teman-temanku dapatkan sebelumnya. Dan dengan cahaya itu aku dapat menerangi jalan hidupku.

“Percuma saja aku bergantung pada cahaya kecil ini”suara dina terdengar merehkan.

“Tapi kenapa dina?”tanya vita tak habis pikir.

“Dari awal kita berlari kesana-kemari dan berdesakan diantara ribuan orang didalam kegelapan” dina menarik nafas “Tapi apa yang kita dapatkan hanya sebuah cahaya kecil”lanjut dina

Kami menatap wajah dina yang terlihat kecewa

“Perjalanan yang sangat melelahkan ini tidak selalu berbuah manis, sulit memang menerima balasan tuhan yang tidak sesuai dengan harapan kita, perjuangan kita, rasa lelah, letih. Tapi semua itu tidak akan terasa jika kita menerimanya dengan ikhlas din.”kataku sedikit emosi.

“Maaf teman-teman aku tidak membutuhkannya”dina menyunggingkan senyumnya dan melangkah pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun