Mohon tunggu...
Hera Afrilia Ginting
Hera Afrilia Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - soon to be S.Sos

Mahasiswa Aktif Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pencitraan di Media Sosial : Ketika Konten Tanpa Substansi Jadi Sorotan

27 Desember 2024   13:46 Diperbarui: 27 Desember 2024   13:46 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komunikasi politik di Indonesia semakin terpengaruh oleh kemajuan teknologi, terutama dengan berkembangnya media sosial sebagai platform utama dalam berinteraksi dengan masyarakat. Berbeda dengan era sebelumnya, di mana media tradisional seperti televisi dan surat kabar menjadi alat utama politisi dalam menyampaikan pesan politik, kini media sosial memungkinkan politisi untuk berkomunikasi secara langsung dan lebih dekat dengan audiens. Namun, penggunaan media sosial oleh politisi Indonesia, Seperti mantan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi), juga memunculkan fenomena baru dalam komunikasi politik, termasuk strategi pencitraan yang sering kali terkesan lebih mengutamakan gaya dibandingkan substansi. Salah satu contoh menarik adalah video yang sempat viral di media sosial, yang menampilkan Jokowi melihat video yang berisikan ibu-ibu joget dan bernyanyi tanpa memberikan komentar atau konteks yang jelas. Video ini, meski mendapat perhatian publik, menimbulkan berbagai pertanyaan tentang sejauh mana pencitraan di media sosial dapat mempengaruhi citra seorang politisi di mata masyarakat.


Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi digital telah merubah cara politisi berinteraksi dengan publik. Media sosial seperti Instagram, X, dan TikTok kini menjadi sarana penting bagi politisi untuk membangun dan memelihara hubungan dengan masyarakat. Penggunaan media sosial memungkinkan politisi untuk menyampaikan pesan secara langsung kepada audiens tanpa perantara, memberikan mereka kendali yang lebih besar terhadap narasi yang mereka ingin ciptakan. Untuk itu, strategi komunikasi politik telah bertransformasi, dengan fokus pada pencitraan atau impression management yang lebih mendalam melalui konten-konten visual yang sering kali bersifat ringan, menghibur, dan dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.


Akan tetapi, pencitraan yang dipertunjukkan di media sosial, seperti yang dilakukan oleh Jokowi, juga menghadirkan tantangan. Salah satu contoh yang kontroversial adalah video yang menampilkan Jokowi melihat Vidio ibu-ibu joget dan bernyanyi di sebuah acara. Konten tersebut, meskipun viral, banyak dikritik karena dianggap tidak memiliki substansi yang kuat dan hanya bertujuan untuk membangun citra dirinya sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, terutama generasi muda atau Gen Z. Konten seperti ini menimbulkan pertanyaan: Apakah media sosial hanya menjadi arena untuk pencitraan tanpa makna? Ataukah ini merupakan bagian dari strategi politik yang lebih besar untuk mendekatkan diri kepada audiens muda?


Video yang menampilkan Jokowi melihat vidio viral ibu-ibu joget dan bernyanyi menunjukkan betapa media sosial bisa digunakan sebagai alat untuk membangun citra. Dalam video tersebut, Jokowi tidak memberikan komentar atau reaksi yang signifikan terhadap apa yang sedang dilakukan oleh ibu-ibu tersebut. Ia hanya terlihat tersenyum dan menonton aksi tersebut, seolah-olah memberikan pengakuan kepada mereka. Video ini menjadi viral dan banyak dibicarakan, namun tidak sedikit yang mempertanyakan nilai substansi dari konten tersebut.


Pada dasarnya, video ini adalah contoh dari strategi pencitraan yang sering digunakan oleh politisi di media sosial. Dalam konteks ini, Jokowi mencoba membangun citra dirinya sebagai sosok yang bersahaja, ramah, dan peduli terhadap rakyatnya. Gaya santai yang ditampilkan dalam video ini berusaha untuk menciptakan kesan bahwa ia tidak terpisah dari masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang lebih muda dan lebih santai. Citra ini tentunya sangat relevan dalam konteks komunikasi politik, mengingat pentingnya mendekatkan diri dengan pemilih muda yang cenderung lebih aktif di media sosial.
Namun, masalah muncul ketika pencitraan seperti ini terasa tidak autentik dan terkesan hanya sekadar mengikuti tren. Dalam teori komunikasi, pencitraan yang tidak didasari oleh tindakan konkret dapat dianggap sebagai manipulasi atau upaya untuk menarik perhatian tanpa memperlihatkan niat atau tujuan yang jelas. Konten seperti video ini, yang tidak menawarkan narasi atau pesan yang lebih dalam, dapat dianggap sebagai upaya untuk meraih popularitas semata. Dalam hal ini, pencitraan yang dihasilkan bisa saja berisiko kehilangan makna bagi audiens yang lebih kritis, khususnya generasi muda yang semakin peka terhadap keotentikan dan konsistensi.


Untuk menganalisis video ini lebih dalam, kita bisa menggunakan beberapa teori komunikasi, terutama teori pencitraan dan teori agenda-setting yang relevan dengan fenomena ini.
Teori Pencitraan (Impression Management)
Teori ini, yang pertama kali dikemukakan oleh Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959), menjelaskan bagaimana individu berusaha mengontrol kesan orang lain terhadap diri mereka melalui berbagai cara dan strategi. Dalam konteks komunikasi politik, politisi sering kali menggunakan media sosial untuk mengelola citra mereka di mata publik. Pencitraan ini berusaha untuk menciptakan gambaran positif yang dapat meningkatkan daya tarik politik mereka. Dalam video Jokowi, penggunaan pencitraan dilakukan melalui pendekatan yang santai, akrab, dan merakyat. Namun, pencitraan ini tampaknya hanya mengandalkan gaya dan bukan substansi, yang membuatnya terkesan superficial dan kurang berdampak bagi audiens yang lebih kritis.


Teori Agenda-Setting
Teori ini menjelaskan bahwa media, termasuk media sosial, memiliki kekuatan untuk mengatur agenda publik dengan menentukan isu-isu apa yang akan dibicarakan dan diprioritaskan oleh masyarakat. Dalam konteks video Jokowi, meskipun tidak ada pesan politik yang eksplisit, media sosial berhasil menjadikan video tersebut sebagai topik pembicaraan yang viral. Namun, video ini tidak memberikan kontribusi nyata terhadap agenda politik yang lebih besar, seperti penyelesaian masalah sosial atau kebijakan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial dapat memengaruhi perhatian publik, penciptaan agenda melalui konten yang tidak bermakna dapat menyebabkan masyarakat teralihkan dari isu-isu penting yang seharusnya menjadi fokus dalam komunikasi politik.


Teori Komunikasi Massa dan Fragmentasi Audiens
Dalam teori ini, dikemukakan bahwa media massa modern, termasuk media sosial, tidak lagi memiliki audiens yang homogen. Audiens kini lebih terfragmentasi dan memiliki preferensi yang berbeda-beda. Video pencitraan Jokowi ini mengindikasikan adanya upaya untuk meraih audiens muda, terutama mereka yang aktif di media sosial dan tertarik pada konten yang ringan serta menghibur. Namun, hal ini juga memperlihatkan keterbatasan dalam menciptakan komunikasi politik yang substansial, karena terlalu banyak fokus pada pencitraan yang bersifat konsumtif dan tidak mendalam.


Media sosial telah menjadi arena baru dalam komunikasi politik, di mana politisi berusaha memanfaatkan popularitas platform tersebut untuk membangun citra. Hal ini memunculkan fenomena baru dalam dunia politik Indonesia, di mana pencitraan bukan lagi sesuatu yang dibangun melalui pidato atau debat politik yang substantif, melainkan melalui konten yang bersifat ringan dan menghibur. Video pencitraan Jokowi ini adalah contoh yang jelas, di mana media sosial digunakan untuk memperlihatkan sisi lain dari seorang politisi yang dekat dengan rakyat, meskipun tidak ada pesan politik yang signifikan dalam video tersebut.
Namun, penggunaan media sosial dalam komunikasi politik tidak selalu berjalan mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah adanya risiko pencitraan yang tidak autentik. Ketika politisi hanya mengandalkan media sosial untuk menciptakan citra tanpa substansi, hal ini dapat menurunkan kualitas diskursus politik. Dalam kasus video Jokowi ini, meskipun ia berhasil mendapatkan perhatian publik, tidak ada pesan yang jelas tentang kebijakan atau langkah konkret yang ia ambil untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat.


Selain itu, media sosial juga memungkinkan penyebaran kritik yang cepat. Video Jokowi ini, meskipun viral, tidak hanya mendapatkan respons positif dari pendukungnya, tetapi juga kritik dari banyak pihak yang merasa bahwa video tersebut hanya sebuah upaya pencitraan kosong. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya politisi untuk menjaga keseimbangan antara membangun citra di media sosial dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Di tengah polarisasi politik yang semakin tajam, pencitraan yang tidak dibarengi dengan tindakan nyata hanya akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap institusi politik.
Komunikasi politik yang terfokus pada pencitraan dapat memiliki dampak yang kompleks terhadap demokrasi. Di satu sisi, pencitraan yang dilakukan melalui media sosial memungkinkan politisi untuk lebih dekat dengan pemilih muda, terutama generasi Z yang lebih aktif di platform-platform seperti Instagram dan TikTok. Video seperti yang dilakukan oleh Jokowi dapat membantu membangun citra sebagai pemimpin yang tidak kaku dan terhubung dengan aspirasi serta tren sosial yang ada.


Namun, di sisi lain, pencitraan yang tidak disertai dengan substansi kebijakan atau langkah nyata bisa merugikan demokrasi. Ketika politisi lebih fokus pada citra daripada pada penyampaian pesan-pesan yang substansial, kualitas komunikasi politik cenderung menurun. Masyarakat, terutama pemilih muda, akan semakin sulit membedakan antara politisi yang benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat dan politisi yang hanya berusaha menarik perhatian dengan cara yang tidak mendalam.
Hal ini berdampak pada kualitas diskursus publik dan partisipasi politik. Jika politisi hanya mengandalkan pencitraan tanpa memberikan informasi yang jelas dan relevan mengenai kebijakan mereka, publik akan semakin skeptis terhadap integritas dan kredibilitas politisi tersebut. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengarah pada apatisme politik dan penurunan partisipasi dalam proses demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun