Mohon tunggu...
Hera Afrilia Ginting
Hera Afrilia Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - soon to be S.Sos

Mahasiswa Aktif Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perempuan dan Politik

16 Desember 2023   13:30 Diperbarui: 16 Desember 2023   13:57 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang akan kesadaran politik pada perempuan

Perempuan di Indonesia dalam Kesadaran akan Politik nya sudah mengalami perkembangan setelah dilaksanakannya Kongres Perempuan pertama kali yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 1928. Peningkatan kesadaran politik ini bisa diamati dengan partisipasinya yang aktif dan pemanfaatan akan setiap hak-hak politik perempuan yang tercermin dalam Pemilu 1955, dengan diberikan nya hak untuk memberikan suara serta menjadi salah satu calon. Kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia telah secara eksplisit diakui. Pengakuan ini sudah diyakinkan dan dipastikan melalui sejumlah instrumen hukum dan proses ratifikasi konvensi internasional yang menjamin hak-hak politik mereka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia pasal 6, mengamanatkan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif wajib memastikan keterwakilan perempuan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Di Indonesia pun, upaya perolehan hak pilih untuk perempuan telah dimulai pada dekade 1930-an. Pada masa itu, gerakan perempuan Indonesia memulai tegas akan kebutuhan hak pilih bagi sesama perempuan. Puncaknya terjadi pada saat Kongres  Perempuan Indonesia III yang diadakan pada tahun 1938 di Bandung, di mana salah satu topik utama dalam pembahasan nya mengenai pemberian hak pilih kepada perempuan diangkat. Tampaknya, sepanjang sejarah Perempuan telah berjuang untuk mengampanyekan hak suara mereka suapaya diakui dan diwujudkan dalam kehidupan. Sama halnya, dalam arena parlemen (DPR), para perempuan berupaya untuk meraih sebuah "kursi" untuk duduk di parlemen dengan maksud menyuarakan aspirasi perempuan.

Pembahasan mengenai Perempuan dan Politik

Sejak zaman dahulu, perempuan gigih memperjuangkan hak-haknya. Riwayat mengenai representasi perempuan di parlemen Indonesia dimulai pada Kongres Perempuan Indonesia pertama yang dilaksanakan tahun 1928. Sejak saat itu, kesadaran timbul di kalangan perempuan Indonesia untuk berperan dalam pembangunan, termasuk dalam ranah politik. Indonesia yang saat itu masih menerapkan struktur patriarki, merupakan suatu elemen pembatas bagi keterlibatan perempuan dalam arena politik. Kondisi ini terjadi karena pandangan masyarakat yang masih memisahkan fungsi laki-laki dalam lingkup publik dan peran perempuan dalam lingkup
domestik.

Bersamaan dengan perjalanan waktu, partai politik secara mendasar telah mulai mendorong anggota perempuannya agar dapat aktif berperan di lembaga legislatif, dan terjadi peningkatan minat perempuan untuk terlibat dalam ranah politik. Menarik untuk ditekankan bahwa terdapat pergeseran paradigma dalam persepsi perempuan terhadap pembelajaran politik. Secara mendasar, perempuan telah memasuki ranah politik dengan pemahaman yang semakin meningkat, dan terdapat banyak kegiatan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik secara positif. Meski demikian, tidak sedikit pula perempuan yang memiliki partisipasi rendah dalam arena politik. Pada prinsipnya, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang setara dalam berbagai sektor, termasuk dalam domain politik. Meskipun demikian, kesetaraan hak tersebut tidak selalu diikuti oleh kesempatan yang sebanding, menyebabkan ketidakseimbangan representasi perempuan dalam ranah politik. 

Banyak negara telah menerapkan kuota gender sebagai strategi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam arena politik. Kuota gender dapat mencakup persyaratan yang menetapkan bahwa sejumlah kursi di parlemen atau institusi politik lainnya harus diisi oleh perempuan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa perempuan memiliki representasi yang setara dalam lembaga-lembaga kebijakan.Umumnya, kuota gender dapat membantu mengatasi ketidakseimbangan representasi gender, khususnya di lembaga-lembaga yang sebelumnya dikuasai oleh pria. Seiring berjalannya waktu, penerapan kuota gender telah menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam jumlah perempuan yang terpilih atau diangkat dalam posisi politik.

Kesimpulan

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, setelah dipahami, dapat disimpulkan bahwa Perempuan di Indonesia sadar akan politik dimulai pada saat pelaksanaan Kongres Perempuan pertama tahun 1928, dan mencapai puncak dalam Pemilu 1955. dan Pengakuan hak perempuan termanifestasi dalam Undang-Undang, seperti dalam Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 mengenai HAM. Meskipun dihadapi struktur patriarki, perempuan tetap berjuang untuk hak suara dan keterlibatan politik. Partai politik juga mendorong partisipasi aktif perempuan di legislatif, namun ketidakseimbangan representasi perempuan masih menjadi tantangan. Pembahasan kuota gender muncul sebagai solusi untuk memastikan representasi setara perempuan di lembaga kebijakan. Kesimpulannya, kesadaran politik perempuan berkembang, dengan kuota gender sebagai upaya mengatasi ketidakseimbangan representasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun