Mohon tunggu...
Hepy Hendarto
Hepy Hendarto Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Pemerhati subkultur dan kultur sepakbola. Kontak saya jika memerlukan kerjasama, dan penulisan blog atau artikel. Email: hepy.hendarto@gmail.com , telephone/whatsapp: 081228575978

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kesucian Sepak Bola Jerman Melawan Kapitalisasi

9 Maret 2023   07:13 Diperbarui: 9 Maret 2023   14:58 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Created by the poor, stolen by the rich', slogan yang sangat menggambarkan kondisi sepakbola pada masa ini, bagaimana tidak, kapitalisasi sepakbola mulai merambah ke berbagai klub, mahalnya harga tiket yang memeras para fans fanatik terutama pionir dari sepakbola itu sendiri yaitu para kaum pekerja. 

Andil yang sangat besar bagi kaum bawah atas pondasi kepopuleran sepakbola, pionir sepakbola dimulai oleh The Working Class, yang kala itu sepakbola hanya populer di kalangan mereka sendiri. 

Ketika lambat laun zaman mulai berkembang, Sepakbola merambah mulai dari olahraga kalangan bawah hingga menjadi ladang bisnis bagi kalangan atas. 

Di Inggris Raya pada abad 18, sepakbola tumbuh atas andil besar para kaum pekerja, identitas sepakbola pada masa itu kental sebagai olahraga para buruh. 

Romantisme sepakbola dengan para kaum buruh dijembatani dengan Revolusi Industri yang terjadi di Inggris kala itu, yang mana gencarnya ekspansi industri di Inggris dan banyaknya buruh menjadi faktor utama tumbuhnya sepakbola. 

Para kelompok kaum buruh ada dasarnya menjadi pionir terbentuknya hampir semua klub di dunia, ambil saja contoh Manchester United yang awalnya bernama Newton Heath LYR yang didirikan oleh buruh kereta api, Liverpool yang didirikan oleh buruh pelabuhan, dan West Ham buruh pabrik besi yang sampai sekarang memiliki logo ikonik lambang kaum pekerja yaitu godam 

Sepakbola menjadi harmoni para kaum bawah yang menjunjung tinggi kesetaraan, jiwa-jiwa sosialis yang sangat tinggi mereka ada dalam satu wadah yang dilatarbelakangi dengan nasib dan penderitaan yang sama, yaitu sepakbola. 

Bagi mereka sepakbola bukanlah sekedar olahraga, tetapi sepakbola menjadi alat pemersatu serta manifestasi dari sosialisme. Oleh karena itu sepakbola dari dulu hingga sekarang dimainkan pada akhir pekan, karena hari libur para buruh yang mencari kebersamaan ditengah nasib yang mereka jalani. 

Lambat laun zaman berganti, kepopuleran sepakbola mulai merambah ke kalangan atas, para pebisnis mulai mengekspansi bisnis mereka ke ranah sepakbola. 

Kapitalisasi dalam sepakbola ini menjadi hal yang lumrah di masa sekarang, kendati sepakbola kehilangan jati dirinya dan hanya menjadi ladang bisnis oleh para taipan.

Para taipan berbondong-bondong untuk membeli sebuah klub untuk menaikkan arus kas pendapatan mereka, fans yang fanatik ini yang memantik sumbu keuangan yang bisa diperoleh bagi kaum kapitalis dan oligarki. 

Kenaikan harga tiket, penjualan merchandise, menjadikan sepakbola menjadi bukan sekedar olahraga, mahalnya tiket yang harus ditebus oleh para kaum buruh yang menjadi pionir bagi berdirinya sepakbola sudah dirasa tidak relevan, dikarenakan ikatan dan fanatisme yang sudah mereka jalin bersama dengan klub kebanggan mereka terpaksa mereka harus menebus harga tiket demi menonton kesebelasan mereka bermain. 

Tak selamanya klub dimiliki oleh taipan menjadi klub yang berbuah manis, hak milik klub mayoritas yang dikuasai oleh satu orang sangatlah rawan menuju lubang bencana, tidak semua klub bisa dimiliki oleh investor yang baik. 

Jikalau investor tersebut bangkrut, maka bangkrutlah tim sepakbola tersebut. Contohnya adalah AC Milan yang mana perusahaan pemilik klub yang dinyatakan bangkrut sehingga poros keuangan dari klub pun ikut terguncang. 

Pictures: Bundesliga.com
Pictures: Bundesliga.com

Beralih ke sepakbola Negeri Bavaria, tanah suci bagi sepakbola."Kami (manajemen) tak berpikir bahwa para pendukung adalah sapi yang bisa 'diperas'. Sepakbola adalah miliki semua orang. 

Inilah yang membedakan kami dengan Inggris" kata Uli Hoeness. Berbeda dengan hiruk pikuk kapitalisme sepakbola khususnya di Inggris, dimana harga tiket yang sangat tinggi dan menjadi tidak relevan bagi fans-fans kelas bawah, di Jerman malah sebaliknya. 

Tahun 1999, DFL mengadopsi sistem 50+1 yang artinya saham mayoritas sebuah klub dimiliki oleh Supporter dan sisanya milik investor. 

Loyalitas supporter merupakan modal tertinggi dan tidak bisa disandingkan dengan uang berapapun itu, sehingga suara tertinggi keputusan klub ada di tangan supporter. 

Sebut saja Bayern Munchen yang memiliki hak suara supporter sebanyak 82%, Borussia Dortmund 60,41% dan sisanya adalah investor. Hal ini tentunya menjadi pakem yang baku bagi semua klub Liga Jerman terkecuali Bayer Leverkusen VFL Wolfsburg, Hoffenheim, dan RB Leipzig. 

Hal ini dikarenakan VFL Wolfsburg pada awalnya terdiri dari beberapa pekerja perusahaan Volkswagen yang difasilitasi oleh perusahaan untuk membuat klub dibawah naungan Volkswagen, sehingga para fans di Jerman tidak mempermasalahkan hal tersebut. 

Lalu hal yang sama terjadi pada Bayer Leverkusen, pada awal cikal bakal klub, Bayer Leverkusen didirikan oleh pekerja perusahaan farmasi Bayer dan difasilitasi oleh perusahaan. 

Tetapi hal yang janggal adalah Hoffenheim dan RB Leipzig, klub yang menggeliat tiba-tiba datang di Bundesliga sehingga memicu kecaman para fans klub yang lain dikarenakan melanggar regulasi 50+1. 

Untuk mengakali hal ini, para karyawan Red Bull yang menaungi RB Leipzig, dan software SAP yang menaungi Hoffenheim diperintahkan untuk mengambil andil di klub sebagai para fans yang mendapatkan hak suara sehingga bisa memenuhi kriteria regulasi dari federasi. 

Dukungan fans klub Jerman akan Regulasi 50+1. Picture: post2post.in
Dukungan fans klub Jerman akan Regulasi 50+1. Picture: post2post.in

Keuntungan dari hal ini adalah menjaga kesucian sepakbola karena pada dasarnya sepakbola adalah dari supporter untuk supporter dan oleh supporter bukan investor yang menjadikan klub dan supporter sebagai sapi perah penghasil keuntungan. 

Dengan kepemilikan bersama, ikatan antara klub dengan para pendukung akan terjadi sangat erat. 

Regulasi 50+1 menjadi tembok utama kebangkrutan klub, bagaimana jika para taipan yang menjadi tulang punggung keuangan serta pemilik klub mengalami kebangkrutan sehingga otomatis poros keuangan sebuah klub juga ikut terguncang, dan alhasil akan mengalami krisis keuangan. 

Selain menjembatani kedekatan supporter dengan klub, andil supporter untuk menentukan kompas arah bagaimana klub kedepannya berjalan, kebijakan klub harus sesuai dengan kepentingan supporter.

Para loyalis ini pun jika menonton klub kesayangannya artinya mereka juga menonton klub miliknya, konsep kesetaraan dan kebersamaan inilah yang menjadi representasi dari regulasi 50+1. 

Konsep regulasi ini juga menjadikan harga tiket stadion di Jerman menjadi sangat murah, yang mana menurut Statista klub-klub di Jerman rata rata memiliki harga tiket seharga 180 Euro, sangatlah jauh jika dibandingkan dengan tiket termurah Liga Inggris yaitu West Ham yang mematok harga 350 Euro. 

Dengan harga tiket murah yang sangat relevan bagi fans dari kalangan kaum bawah dan juga menjadikan stadion di Jerman selalu penuh dengan sorak sorai fans, serta menjaga kesucian sepakbola itu sendiri. Karena sejatinya sepakbola adalah milik supporter, bukan milik investor yang rakus akan keuntungan sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun