Para taipan berbondong-bondong untuk membeli sebuah klub untuk menaikkan arus kas pendapatan mereka, fans yang fanatik ini yang memantik sumbu keuangan yang bisa diperoleh bagi kaum kapitalis dan oligarki.Â
Kenaikan harga tiket, penjualan merchandise, menjadikan sepakbola menjadi bukan sekedar olahraga, mahalnya tiket yang harus ditebus oleh para kaum buruh yang menjadi pionir bagi berdirinya sepakbola sudah dirasa tidak relevan, dikarenakan ikatan dan fanatisme yang sudah mereka jalin bersama dengan klub kebanggan mereka terpaksa mereka harus menebus harga tiket demi menonton kesebelasan mereka bermain.Â
Tak selamanya klub dimiliki oleh taipan menjadi klub yang berbuah manis, hak milik klub mayoritas yang dikuasai oleh satu orang sangatlah rawan menuju lubang bencana, tidak semua klub bisa dimiliki oleh investor yang baik.Â
Jikalau investor tersebut bangkrut, maka bangkrutlah tim sepakbola tersebut. Contohnya adalah AC Milan yang mana perusahaan pemilik klub yang dinyatakan bangkrut sehingga poros keuangan dari klub pun ikut terguncang.Â
Beralih ke sepakbola Negeri Bavaria, tanah suci bagi sepakbola."Kami (manajemen) tak berpikir bahwa para pendukung adalah sapi yang bisa 'diperas'. Sepakbola adalah miliki semua orang.Â
Inilah yang membedakan kami dengan Inggris" kata Uli Hoeness. Berbeda dengan hiruk pikuk kapitalisme sepakbola khususnya di Inggris, dimana harga tiket yang sangat tinggi dan menjadi tidak relevan bagi fans-fans kelas bawah, di Jerman malah sebaliknya.Â
Tahun 1999, DFL mengadopsi sistem 50+1 yang artinya saham mayoritas sebuah klub dimiliki oleh Supporter dan sisanya milik investor.Â
Loyalitas supporter merupakan modal tertinggi dan tidak bisa disandingkan dengan uang berapapun itu, sehingga suara tertinggi keputusan klub ada di tangan supporter.Â
Sebut saja Bayern Munchen yang memiliki hak suara supporter sebanyak 82%, Borussia Dortmund 60,41% dan sisanya adalah investor. Hal ini tentunya menjadi pakem yang baku bagi semua klub Liga Jerman terkecuali Bayer Leverkusen VFL Wolfsburg, Hoffenheim, dan RB Leipzig.Â
Hal ini dikarenakan VFL Wolfsburg pada awalnya terdiri dari beberapa pekerja perusahaan Volkswagen yang difasilitasi oleh perusahaan untuk membuat klub dibawah naungan Volkswagen, sehingga para fans di Jerman tidak mempermasalahkan hal tersebut.Â