Seringkali berpikiran mau jadi apa masa depan? Atau merasa gagal menjadi seorang manusia baik secara religi meupun secara sosial.
Dari secara religi berbuat sesuatu yang sudah tahu bahwa hal tersebut dilarang oleh Tuhan dan berbenturan dengan syariat agama. Atau secara sosial semisal dicap sebagai sampah masyarakat, mengecewakan orang yang melahirkan kita, siapa juga yang tidak merasa patah jika orang yang rela meremukkan 20 tulang secara bersamaan demi lahirnya kita di dunia, dan rela melakukan apapun demi masa depan, ibarat kata kehabisan uang rela berjalan di atas mata pedang yang mampu mengiris kain sutera hanya dengan meletakannya, giliran sudah besar malah mengecewakan orang yang sudah melahirkan kita.
Semua orang pasti pernah berpikiran seperti hal diatas, merasa paling menjadi orang paling gagal sedunia, merasa bahwa takdir ini berat sebelah; dimana yang buruk lebih besar daripada yang baik. Seakan kita lupa bahwa setiap perbuatan memiliki dampak masing masing, ibarat lupa Tuhan saat berbuat, dan mengingat Tuhan saat sudah berdampak.
Sungguh maha baik Tuhan yang sudah menciptakan kesempatan ke-2 sampai dengan kesekian hingga nyawa sampai ke kerongkongan, kita di bebaskan untuk memperbaiki segala kesalahan hingga berujung balasan yang sudah kita perbuat, mendempul segala peyokan yang sudah kita sebabkan.
Sederhana, mulai dari hal kecil yang sudah kita mulai dulu, tentunya hal-hal yang berkaitan dengan religi, semua kesalahan yang berhubungan dengan larangan Tuhan, mau kesalahan sebanyak busa di lautan, ampunan Tuhan sebesar samudera, mau dosa kita sebanyak bintang, ampunan Tuhan seluas langit.
Bermesralah dengan Tuhan, karena Tuhan adalah cinta pertama dan nomor 1 dalam hidup. Memohon dengan hati yang serendah-rendahnya, dan jiwa yang sehina-hinanya dihadapan Tuhan
Lalu beralih di ranah sosial, menuruti nafsu yang kian menjadi ketika kita beranjak menuju dewasa. Bukan hanya nafsu biologis, tetapi juga nafsu kalau saya menyebutnya sih nafsu kalangan. Yaitu kalangan remaja, contohnya?
Gampang saja, mayoritas yang melanggar norma masyarakat adalah nafsu kalangan, disini tidak usah saya sebutkan karena sudah familiar di telinga pembaca masing masing.
Saya juga pernah merasakan tekanan dua nafsu tersebut, karena semua orang akan remaja pada waktunya. Karena semangat remaja yang menggebu-gebu hingga lupa bahwa nafsu tersebut mengundang berbagai dampak, dari jadi bahan omongan banyak orang, mengalami sesuatu buruk yang diluar ekspektasi, hingga paling parahnya membuat orang tua menangis.
Bahkan dalam beberapa kasus ada orang tua yang menyumpah serapah perbuatan perilaku anak, Naudzubillah. Padahal perkataan orang tua adalah doa yang mustajab dan kemungkinan besar terkabul. Ini juga peringatan kepada orang tua, jagalah lisan kalian, karena lisan kalian bisa menjadi kebaikan bahkan menjadi pedang bagi anal-anak kalian.
Kembali ke pembahasan, ketika semua orang mengalami masalah-masalah diatas, mereka bakal mengira bahwa merekalah yang paling tidak beruntung di dunia, mengira bahwa takdir berat sebelah; lebih berat yang buruk daripada yang baik, tapi sebelum berpikir demikian, ada hal yang lupa mereka pahami, yaitu mereka lupa Tuhan sebelum bertindak, dan mendadak ingat Tuhan setelah mendapat balasan.
Setelah merasa orang paling tidak beruntung sedunia. Mereka tidak segera mencari dempul untuk menambal segala peyokan, tetapi malah melampiaskan ke hal yang tidak berguna, disini banyak waktu yang terbuang. Setiap hal yang buruk pasti ada ruang untuk memperbaiki, sebagai contoh matematika, matematika adalah gambaran kecil dari kehidupan kita, ilmu pengetahuan yang satu ini memberi banyak pelajaran, kita ambil salah satunya adalah penyelesaian masalah.
Ambil saja bagaimana kita mencari tinggi dari tiang bendera tanpa menggunakan meteran, tentunya ini adalah sebuah permasalahan, kita tidak membahas tentang asal usul teorema phytagoras, tetapi apa yang bisa diterapkan dari matematika.
Mengukur tinggi gedung tanpa meteran adalah sebuah permasalahan Ibaratkan saja permasalahan adalah pintu, dibalik pintu ada secercah kebahagiaan, nah untuk membuka pintu kita membutuhkan kunci, kunci disini adalah pemecahan masalah.
Kembali lagi pada pengukuran tiang bendera, disini kita harus menggunakan teorema phytagoras, pemecahan masalahnya adalah menggunakan rumus yang sudah menjadi kesepakatan dari dulu.
Begitu juga dengan hidup, kita hidup juga memiliki rumus untuk menyelesaikan suatu masakah, yaitu kitab suci. Disini saya tidak membedakan agama manapun karena rumus juga harus tentang kepercayaan juga. Seburuk apapun situasi, pasti ada rumus di dalam kitab suci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H