Apa yang membuat kita yakin bahwa negeri kita adalah pusat atau sumber kebudayaan dunia? Adat Istiadat bisa menjawabnya. Bagaimana mungkin???
‘Perhatikan pikiran-pikiranmu, karena akan menjadi kata-kata.
Perhatikan kata-katamu, karena akan menjadi tindakan-tindakan.
Perhatikan tindakan-tindakanmu, karena akan menjadi kebiasaan-kebiasaan.
Perhatikan kebiasaan-kebiasaanmu, karena akan menjadi sifat.
Perhatikan sifatmu, karena akan menentukan masa depanmu.‘
(The Wisdom of Sunderland by Swami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)
Bukankah hal di atas tidak salah? Pikiran adalah getaran. Jika pikiran diucapkan juga tetap bergetar. Ucapan kemarahan seseorang yang disertai emosi memiliki kekuatan getaran yang besar. Sayangnya hal ini tidak disadari oleh kebanyakna orang. Ucapan yang disertai emosi bisa mempengaruhi udara di sekitar kita. Masih ingat penelitian Masaru Emoto tentang air? Air merekam ucapan kasar atau doa kita, bukankah udara di atas serta sekitar kita juga kebanyak uap air?
Dalam buku The Wisdom of Sundaland juga dikatakan sebagai berikut:
” Bagi rakyat Nusantara, kata aksara – berasal dari sansekerta ‘akshara‘, yang berarti ‘yang selalu bergetar.’ Kata-kata adalah energi, dan energi tidak hilang. Energi hanya berubah bentuk, tetapi tidak hilang.“
Adat Istiadat yang diwariskan leluhur kita terdapat di berbagai daerah, antara lain:
‘Marpangkirimon do na mangalaoi jala na mangulahon patik ni Debata, jala dapotna do sogot hangoluan ni tondi asing ni ngolu ni diri on. (Mereka yang mengikti dan mematuhi Aturan yang berdasarkan Prinsip Keluhuran (Debata), akan mendapatkan kehidupan abadi dengan roh suci. (Kearifan Ugamo Malim Kuno, Batak, Sumatra)
Memayu Hayuning Bawono,(mempercantik dunia yang indah) semboyan kearifan para pemimpin dan rakyat Tatar Sunda.
‘Cageur, Bageur, Bener, Singer, dan Pinter – Ilmu bijak Tatar Sunda sebagai panutan kebajikan. (Bener kejujuran, integritas, dan menjaga kebenaran. Terakhir, Pinter yang adalah berpengetahuan dan trampil, dengan tetap rendah hati dan tidak sombong). (Erman Suaeman, www.kasundaan.org)
“Menurut ajaran dalam Patikrama (segala adat), bagi kita, laki-laki dan wanita, Amal itu sama dengan tapa. Itulah makna amal. Buruk amal, buruklah tapa, sedang amal, sedanglah tapa. Sempurna amal, sempurnalah tapa. Kan kita ini karena amal kita dapat menjadi kaya, karena amal pula kita berhasil dalam tapa” (Atja & Saleh Danansasmita, 1981: 31,38). Sumber: www.wacananusantara.org artkel ‘Masa Para Raja di Tanah Parahyangan.”
Urip iku Urup, pepatah Jawa. Hidup juga mampu memberikan kehidupan atau makna kebajikan bagi orang lain.
Pela Gandong. Pela – Solidaritas kemanusiaan, sebagai wujud kesadaran bahwa pada dasarnya semua manusia berdaudara. Gandong – Solidaritas kelompok, berdasarkan hubungan darah dan tradisi kepercayaan. (Pepatah Kuno Maluku)
Mungkinkah adat istiadat atau kebiasaan di atas muncul dalam waktu singkat? Jelas tidak mungkin. Dengan kata lain bahwa untuk menjadikan kearifan lokal menjadi tradisi kebiasaan yang baik dan membangun dapat dipastikan telah mengalami uji coba dalam jangka waktu yang panjang. Bila hal itu dipandang baik, kemudian dirumuskan dalam kata. Semua ini bisa terjadi hanya bila dan bila mayoritas penduduknya memiliki kesadaran akan keterhubungan diri mereka dengan alam. Inilah yang disebut sebagai ‘collective consciousness’ manusia.
Pikiran menjadi ucapan atau kata kemudian menjadi tindakan. Tindakan demi tindakan menjadi kebiasaan atau adat istiadat. Pikiran suatu bangsa pada suatu wilayah tidak hilang. Saat seseorang memiliki getaran atau frekuensi yang sama, ia akan terhubung dengan kesadaran tersebut secara alami. Hal ini tidak b isa dilakukan dengan sengaja. Keterbukaan diri terhadap alam bisa menghubungkan. Bukan keinginan manusia. Inilah kecerdasan alam atau intelejensia.
Kebiasaan-kebiasaan yang selaras dengan alam akan membuat seseorang memiliki kearifan yang selaras dengan alam. memahami keterhubungan dengan alam serta kemudian melakukan penghormatan pada alam akan meningkatkan kearifan dalam diri orang yang bersangkutan. Kerendahan hati untuk melayani alam berarti sadar dan mau memahami bahwa keberadaan alam untuk dipelihara dan dilestarikan, bukan untuk dirusak demi pemuasan hawa nafsu indrawi.
Adat istiadat leluhur kita sangat bijak. Bukan untuk kepentingan diri atau tubuh tetapi dipergunakan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Kearifan lokal di berbagai daerah inilah keindahan bidaya nusantara.
Mengapa masih terpesona dengan kebiasaan dari luar???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H