Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi di Pagi Akhir Desember

2 Desember 2024   17:42 Diperbarui: 2 Desember 2024   18:05 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seusai misa Natal pagi, Nenek itu berjalan menuju bangku di sebuah Taman depan Gereja Katedral. Baginya duduk santai di sana sudah menjadi kebiasaan rutin yang sudah lama dilakukannya. 

Menikmati sekumpulan burung gereja yang berisik bercengkerama dengan kicauan merdu. Di tengah keceriaan pagi sambil merasakan udara segar yang menusuk lembut menembus kulitnya yang sudah keriput. 

Daun-daun perdu masih penuh dengan titik-titik embun yang kini mulai terjatuh satu demi satu menyentuh tanah basah bekas hujan tadi malam. 

Warna-warni bunga menghiasi setiap sudut Taman, memanjakan mata yang memandang. Sementara itu rumput hijau yang tertata rapi, memantulkan cahaya dari Sang Surya yang mulai memperlihatkan sorot kehangatan. Lurus sinarnya menembus halus pada setiap relung kehidupan tanpa balas dengan pamrih. 

Taman di depan Gereja Katedral, bagi Nenek itu adalah tempat paling damai yang telah menyisakan kenangan berarti dalam kisah hidupnya. Di Taman itu dia harus mengingat kembali momen saat berpisah dengan tambatan hatinya. 

Walaupun sudah berusia 70 tahun, tapi nenek itu masih terlihat cantik, tampak pada setiap guratan tipis di wajahnya. Di sana masih banyak tersisa garis kecantikan masa mudanya. Terutama matanya yang masih memiliki sorotan meneduhkan hati. 

Pagi yang segar dengan kesejukkan yang seolah menyapanya sehingga membuat dirinya merasakan kembali kenangan 5o tahun yang lalu di sini, di bangku ini, di Taman depan Gereja Katedral. 

Nenek itu ingin rasanya mengubah sebuah kenangan pahit jika saja dia mampu. Walaupun kenyataannya dia hanya bisa menyerah, tapi paling tidak saat ini kenangan pahitnya jangan sampai menjadi sebuah duka berkepanjangan. 

Pada saat ingat ketika itu, jiwanya terasa ingin memberontak pada belenggu adat dan agama yang seolah mengekangnya dalam menentukan kebebasan memilih teman hidup yang dia cintai. 

Banyak tanya dalam benaknya. Tapi tidak ada satupun jawaban yang memuaskan hatinya. Kenapa adat harus menghalangi cinta, mengapa agama harus menentukan cinta hanya pada satu golongan dalam sebuah kotak. Setiap tanya itu hanya berakhir dengan rasa kecewa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun