Bogor 1978
Restoran Tionghoa di sudut Jalan Surya Kencana itu terasa hening. Suara isak tangis Erika Amelia Mawardini seakan alunan musik sumbang yang membuat hati ini semakin terasa pedih.Â
Kami duduk di ruang pojok yang terpisah dari deretan kursi lainnya, menghadap ke arah jalan Surya Kencana yang ramai dengan kendaraan lalu lalang.Â
"Rika sudahlah," kataku membujuk Erika agar menghentikan tangisnya. Namun gadis cantik dengan rambut sebatas bahu ini tidak menghentikan tangisnya. Bahunya berguncang menahan tangis kepedihan hatinya.Â
Aku menggenggam kedua tangannya sambil memandang wajahnya yang bersimbah air mata. Perlahan kuhapus tetesan air mata yang jatuh di kedua pipinya. Â
"Rika, pandanglah aku!" Erika masih terdiam namun kini tangisnya mulai berhenti. Mata indahnya yang masih berkaca-kaca itu memandangku dengan tajam.Â
Mata yang indah yang dimiliki gadis yang aku cintai ini adalah salah satu yang paling aku kagumi. Hidung mancung dan bibir yang selalu ramah dengan senyum adalah perpaduan keindahan seorang gadis yang sempurna.Â
Aku seakan tidak percaya menghadapi kenyataan bahwa Erika harus berpisah denganku setelah kebersamaan sejak masa-masa SMP, SMA dan dimasa kuliah. Bagiku Erika adalah segenap cinta yang selama ini aku curahkan.Â
"Maafkan aku Hen," Erika menatapku dengan mata yang masih berkaca air mata. Aku memandang Erika dengan senyum seolah aku ini adalah lelaki tegar dan kuat menghadapi ujian ini. Padahal aku sangat rapuh gampang tersentuh.Â
Aku masih menggenggam kedua tangan Erika. Tak sengaja aku menyentuh cincin pertunangannya yang melingkar di jari manisnya.Â