Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bedah Tuntas Kinerja Timnas Garuda Usai Gagal di Kualifikasi Piala Dunia 2022

12 Juni 2021   22:26 Diperbarui: 16 Juni 2021   01:20 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evan Dimas harus bekerja keras menahan serangan para pemain UEA (Foto The-AFC.com)

Usai sudah tugas suci Timnas Garuda dengan skuad generasi penerus yang dipromosikan pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae yong. Mereka baru saja mengarungi 3 laga sisa kualifikasi Piala Dunia 2022 yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).

BACA JUGA : Kalah Telak dari Vietnam, Garuda Lolos ke Babak Play Off Piala Asia 2023

Timnas Garuda bertanding menyelesaikan sisa laga kualifikasi tersebut. Melawan Thailand (3/6/21), Vietnam (7/6/21) dan Uni Emirat Arab (11/6/21).  

Dari total delapan pertandingan yang dijalani Indonesia di putaran kedua Kualifikasi tersebut, tim Merah Putih telah menelan 7 kekalahan dan 1 laga berakhir imbang.

Gawang Garuda kebobolan 27 gol berbanding 5 gol yang berhasil dicetak. Lima gol Indonesia  dicetak Beto Goncalves (2 gol), Irfan Bachdim, I Kadek Agung Putra dan Evan Dimas.

Satu-satunya hasil imbang dan satu poin yang diraih Indonesia terjadi saat melawan tim Gajah Perang, Thailand.

Indonesia sukses menahan imbang Thailand 2-2 setelah sempat dua kali tertinggal namun berhasil menyamakan kedudukan. Dua gol Thailand dicetak oleh Narubadin Weerawatnodom dan Adisak Kraisorn.

Dalam laga selanjutnya kebobolan 4 gol dengan sangat mudah ketika melawan Vietnam yang dicetak oleh Nguyen Tien Linh, Nguyen Quang Hai, Nguyen Cong Phuong dan Vu Van Thanh.

Sementara dalam laga pamungkas ada 5 gol bersarang ke gawang Garuda dari skuad UEA, tanpa mampu membalas. Dua gol dari Ali Mabkhout, 2 gol lainnya dari Fabio  Lima dan sebuah gol dari  Sebastian Tagliabue.

Dari tiga laga yang berlangsung di Dubai tersebut masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh Shin Tae yong dan tim pelatihnya.

Mentalitas tim yang lemah adalah hal serius yang harus dibenahi. Pelajaran berharga yang didapat Timnas Indonesia dari pertandingan melawan Vietnam dan UEA adalah persoalan mentalitas.

Melawan kedua tim ini mental bertanding jatuh setelah kebobolan. Mereka tidak mampu mengulang bangkit seperti ketika melawan Thailand.

Evan Dimas harus bekerja keras menahan serangan para pemain UEA (Foto The-AFC.com)
Evan Dimas harus bekerja keras menahan serangan para pemain UEA (Foto The-AFC.com)

Skuad Garuda setidaknya harus belajar menghadapi tekanan lawan dengan cara yang baik. Timnas Indonesia terlihat banyak sekali melakukan salah umpan atau umpannya lemah.

Begitu juga kesalahan elementer yang membuat fatal. Mereka juga masih terlalu mudah kebobolan dari situasi yang seharusnya bisa dihindari.

Dari segi teknik permainan ada catatan penting pada sektor lini belakang, lini tengah dan lini depan. Mari kita kupas uraian berikut ini.

Lini Belakang

Sektor ini terutama pada posisi bek tengah yang pemainnya banyak dilanda cedera seperti yang dialami Andy Setyo dan Ryuji Utomo.

Kondisi itu membuat pelatih asal Korea Selatan tersebut hanya bergantung pada pemain muda yang minim pengalaman tampil di level internasional.

Pilihan jatuh kepada Rizki Ridho dan Arif Satria, duet bek tengah asal Persebaya. Mereka berdua harus terus ditampilkan dalam tiga laga tersebut tanpa istirahat.

Sejak bermain mati-matian melawan Thailand, Rizki ridho dan Arif juga harus bermain melawan Vietnam dan UEA tanpa mengalami rotasi.

Lemahnya kekuatan di sektor bek tengah ini sudah menjadi catatan saat Timnas Garuda menghadapi Thailand dan Vietnam. Jika kelemahan pada sektor bek tengah ini juga masih terlihat saat Timnas Garuda menghadapi UEA, maka hal itu wajar.

Arif Satria dan Rizki Ridho sudah kehabisan stamina terus bermain tanpa mengalami rotasi. Kinerja mereka harus tetap bisa diapresiasi karena keadaan darurat ini.

Mereka terlihat lemah, baik dalam menghadapi tekanan lawan maupun mengantisipasi serangan bola atas lawan. Komunkasi juga menjadi factor penting yang harus dibenahi disamping factor konsentrasi yang sering hilang fokus.

Hal ini terjadi pada saat melawan Thailand ketika gol pertama mereka lahir, Arif dan Rizki saling mengandalkan.

Begitu pula ketika gol kedua UEA tercipta akibat Rizky Ridho salah melakukan passing yang mampu dimanfaatkan UEA untuk memperlebar keunggulan gol atas Indonesia.

Ketika berhadapan dengan Vietnam, mereka bisa bertahan menahan tanpa gol hingga turun minum. Namun factor stamina berbicara, sehingga pada babak kedua konsentrasi mulai rusak. Kordinasi dan komunikasi mulai memburuk.

Maka tidak heran jika hanya dalam 23 menit, sejak Nguyen Tien Linh membobol gawang Nadeo Argawinata di menit ke-51, Vietnam menambah gol melalui Vu Van Thanh, Nguyen Quang Hai dan Nguyen Cong Phuong.

Shin Tae Yong pasti sudah mencatat kelemahan ini. Kabar baiknya Arif dan Rizki adalah bek tengah muda yang masih memiliki prospek ke depannya.

Lini Tengah 

Pelatih Shin Tae Yong terlihat jelas belum menemukan seorang gelandang bertahan yang ideal selama menjalani 3 laga di Dubai tersebut.

Kadek Agung dan Rachmat Irianto yang mengemban tugas tersebut tampak belum meyakinkan.

Kadek Agung, pemain muda yang bertugas sebagai pemutus serangan lawan masih bermain tidak konsisten.

Begitu pula dengan Rachmat Irianto yang justru kerap kehilangan bola dan melakukan operan yang tidak akurat seperti saat melawan Vietnam mauoun UEA.

Hal itu membuat Timnas Indonesia berada dalam tekanan lawan. Apalagi permainan ball position skuad Garuda tampak belum mampu dikuasai dengan baik. Banyak umpan-umpan mereka yang lemah atau tidak akurat.

Beruntung, rekan-rekan setimnya yang lain mampu dengan cepat menutup pergerakan pemain sehingga tim lawan tidak bisa memanfaatkan momentum dengan sempurna.

Selain itu skuad ini belum memiliki seorang pemain yang memiliki type play maker yang mampu melakukan kreasi. Hanya ada seorang Evan Dimas dalam skuad ini sehingga cukup memberatkannya jika posisi itu diserahkan padanya tanpa ada pelapis.

Lini Depan

Ketika berhasil merespon positif dua kali tertinggal saat melawan Thailand, sebenarnya hal itu belum membuktikan ketajaman lini depan dari skuad Garuda.

Karena dua gol yang terjadi untuk menyamakan kedudukan tersebut dicetak oleh Kadek Agung seorang gelandang dan Evan Dimas juga seorang gelandang.

Laga melawan Vietnam menjadi bukti selanjutnya ketidakmampuan pemain lini depan Timnas Garuda dalam mencetak gol.

Kushedya Hari Yudo, Saddam Gaffar dan Rafli diberikan kesempatan bermain tetapi belum satupun dari mereka berhasil menempatkan namanya di papan skor.

Kushedya selalu jadi starter melawan Thailand, Vietnam dan UEA tetapi pemain asal Arema FC itu tidak kunjung juga mencetak gol.

Sesungguhnya striker tidak bisa juga disalahkan jika mereka tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari lini tengah. Umpan-umpan dari seorang play maker sangat dibutuhkan seorang striker.

Evan Dimas dan Syahrian Abimanyu belum optimal mengeluarkan kemampuannya dalam setiap laga mereka.

Begitu pula dukungan dari sisi sayap. Pada posisi ini mungkin hanya Asnawi Mangkualam, Egy dan Witan yang bisa dikatakan bermain sangat baik.

Budaya Prestasi Instan Federasi

Selama ini pengurus PSSI selalu mempunyai program yang jangkauannya pendek. Mungkin hanya sebatas masa kepengurusan mereka.

Bahkan ketika PSSI memutuskan memilih Shin Tae yong bukan memilih Luis Milla. Hal itu karena Shin berani mencapai target jaura SEA Games 2021 di Vietnam. Sedangkan Luis Milla ingin membina Timnas Garuda dengan program jangka panjang.

Hal itu terkesan mengincar prestasi instan sangat kental. Apalagi jika nanti Shin gagal mencapai target kemudian dipecat, maka semakin jelas apa yang diinginkan pengurus PSSI.

Walaupun benar sekali bahwa kita harus realistis menghadapi kekalahan dengan lapang dada.

Namun hal tersebut harus memaknainya dengan positif karena prestasi itu tidak hadir seperti orang bikin mie instan. Butuh perjuangan panjang.

Joachim Louw saja sejak melatih Jerman pada tahun 2006 baru bisa meraih prestasi tinggi di Piala Dunia 2014 sebagai juara. Delapan tahun yang panjang.

Apalagi Indonesia dengan SDM pesepakbola dengan level jauh di bawah Jerman, tentu memerlukan waktu jauh lebih lama lagi.

Semoga kita tetap bisa bangkit dan mampu menegakkan kepala untuk menatap ke depan meraih prestasi cemerlang. Walaupun itu terjadinya entah kapan. Bravo Garuda Merah Putih.

Salam bola @hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun