Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Usia 25 Tahun adalah Momen Kesempatan Kedua

24 Mei 2021   17:26 Diperbarui: 24 Mei 2021   23:21 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagiku usia 25 tahun saat itu adalah kesempatan kedua dalam memperbaiki kesalahan langkah dalam menapaki jalan kehidupan. Sebagai anak tertua dengan 6 orang adik, seharusnya aku sudah mampu mandiri pada usia itu. Ternyata fakta berbicara lain. 

BACA JUGA : Karier Cemerlang 4 Artis Drakor yang Masih Cantik pada Usia 40 Tahun

Usai lulus SMA tahun 1975, perjalanan studiku menuju Perguruan Tinggi mulai terbuka. Tantangan di depan jauh lebih menarik daripada harus bekerja hanya mengandalkan ijazah SMA. 

Dari sejak awal obsesiku adalah masuk sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang paling "ngetop" di Bandung. Sebenarnya aku hanya bermodalkan nekad saja karena nilai raport SMA ku hanya rata-rata 7,0 saja. Nilai yang sangat absurd bisa lolos ke Perguruan Tinggi yang paling bergengsi di Tanah Air itu. 

Teman sekelas dengan nilai rerata 8,0 ada dua orang yang lolos masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan. Mereka saja lebih memilih kuliah di Bogor dibandingkan ikut test masuk di Bandung. 

Aku memang tidak tahu diri. Tidak mampu mengukur kemampuan diri sendiri. Selama dua tahun berturut-turut test masuk Perguruan Tinggi Negeri tersebut mengalami kegagalan. 

Konyolnya selama dua tahun itu hanya menjadi pengangguran tidak jelas. Bahkan adik lelakiku yang terdekat sudah kuliah selama satu tahun di IPB dan sudah memasuki tahun kedua di sana. 

Aku benar-benar hampir frustrasi karena menjadi anak yang hampir tidak berguna. Aku yang seharusnya bisa membantu Ayah dan Ibu namun malah jadi pengangguran. Ayahku seorang prajurit di sebuah Batalyon TNI dan Ibuku seorang Guru Sekolah Dasar. 

"Mas mau coba lagi tes masuk tahun ini? Nanti aku temani!" kata adikku memberi semangat. 

"Lho kuliah kamu di IPB bagaimana?" Tanyaku pada niat adikku menemani test di Bandung. Adikku hanya bilang jika dia lulus test maka dia akan pilih kuliah di Bandung. 

"Tapi Mas, tahun ini harus bisa kuliah. Untuk itu harus ada pilihan lain selain kuliah di Bandung. Bagaimana jika pilih saja Akademi di Bogor bidang Kimia yang prospek kerja setelah lulus sangat besar." Usul adikku yang langsung aku menanggapinya dengan baik. 

Tahun 1978 itu aku kembali mengikuti Tes Perguruan Tinggi Negeri dengan nama SKALU. Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas atau disingkat SKALU adalah suatu sistem penerimaan mahasiswa baru tingkat nasional yang pertama kali dilakukan secara serempak oleh beberapa Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia. 

Sebelum itu PTN melakukan tes masuk dengan kebijakan sendiri berdasarkan PTN masing-masing. Sejak ada SKALU sistem penerimaan mahasiswa baru dilakukan dalam satu kordinasi. 

SKALU beranggotakan lima universitas yaitu Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga. 

Tahun itu adalah kerja kerasku untuk lolos menggapai masa depanku. Dua tahun yang sia-sia harus bisa dibayar pada tahun ketiga ini. Dua hari mengikuti ujian saringan masuk SKALU akhirnya usai. 

Aku merasakan spirit yang berbeda karena adikku juga ikut dalam ujian tersebut hanya beda 4 baris dari bangku tempatku ujian. Usai ujian itu aku merasakan lega dan ada rasa optimis. 

Benar saja aku akhirnya berhasil lulus pada tahap pertama dengan mendapatkan sertifikat yang akan dipakai untuk mendaftarkan ke Fakultas pilihanku. Aku memilih Teknik Industri dan adikku ke Teknik Sipil. 

Namun ternyata persaingan dalam pilihan fakultas sangat ketat. Dari 1500 calon bersertifikat hanya diterima sekitar 500 calon mahasiswa. Aku tidak termasuk di dalamnya sedangkan adikku berhasil lolos masuk dalam calon mahasiswa yang diterima di Teknik Sipil. 

Untung saja aku mendengarkan saran adikku untuk ikut juga tes penerimaan mahasiswa baru di Akademi Kimia di Bogor. Program Kimia yang harus ditempuh dalam 4 tahun untuk mendapatkan gelar akademik Bachelor of Science. 

Sejak itu aku mulai menuntut ilmu  di sana dengan semua mata kuliahnya berbasis kimia. Mulai Kimia Analitik, kimia organik, kimia anorganik, kimia farmasi, kimia pangan, biokimia, kimia tekstil, kimia industri, kimia lingkungan. 

Padahal ketika SMA pelajaran kimia adalah pelajaran yang bikin pikiran alergi. Namun apa boleh buat saat menghadapi perkuliahan dari tahun ke tahun harus menyantap makanan berupa ilmu kimia ini. 

Program kuliah diselesaikan selama 4 tahun dengan mewajibkan para mahasiswa membuat karya skripsi sebagai tugas akhir. Hasil penelitian dalam bentuk skripsi ini harus dipertanggung jawabkan dalam sidang ujian skripsi. 

Tepat usia 25 tahun itu akhirnya aku berhasil mempertahankan penelitianku dalam bentuk kertas kerja skripsi di depan dewan penguji. Tahun itu adalah tahun kelulusanku dan mulai menatap dunia kerja. 

Seharusnya momen ini sudah terjadi 3 tahun sebelumnya jika saat itu aku berhasil kuliah di PTN Bandung. Namun itulah rencana Tuhan harus aku jalani dengan ikhlas. Hikmah dari peristiwa itu sangat banyak sekali karena rencana Tuhan pasti yang terbaik. 

Sejak tahun 1982 aku diterima bekerja di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Mengajukan pensiun pada tahun 2011 karena harus menemani Ibu saya yang sudah sepuh. Di tempat kerja ini pula aku mendapatkan jodohku rekan kerja yang sekarang menjadi ibu dari dua anakku. 

Usia 25 tahun yang menjadi momen kebangkitanku menemukan kembali jati diri yang hampir saja mati ditelan putus asa. Kini sudah saatnya banyak-banyak bersyukur di usia tua ini. Jangan ada satu haripun tanpa rasa syukur. 

Hanya Tuhan sebaik-baik Penolong dan hingga kapanpun aku selalu meyakini keberadaanNya. Maha Besar Allah. 

Salam @hensa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun