"Kamu pernah mengukur derajat tawakalmu?" Kata Malaikat di sisi kananku. Sungguh aku terkejut dengan pertanyaan itu. Selama ini aku sudah terlalu abai dengan segala urusan dengan Tuhanku.Â
Aku hanya hamba tidak tahu diri. Dengan seluruh tubuh berlumur dengan lumpur dosa, mana mungkin berani mengukur derajat tawakalku. Sementara Malaikat di sisi kananku selalu tersenyum memberiku harapan kebaikan.Â
Mumpung Ramadan, ukurlah derajat tawakal dengan akurat. Mampukah bagi diriku, hamba yang abai dan durhaka kepada Tuhannya. Mampukah aku melihat setitik cahaya diujung kegelapan sana? Mampukah?Â
Ketika orang-orang suci pilihanNya menjelaskan derajat tawakal aku hanya terdiam termangu. Tawakal adalah kondisi kalbu dalam keyakinannya yang bulat kepada Allah Yang Maha Benar dan ketidak pedulian kepada selainNya.Â
Orang-orang suci pilihanNya juga menjelaskan derajat tawakal tertinggi adalah ketika orang bertawakal di hadapan Allah seperti mayit di hadapan orang yang memandikannya.Â
Aku kembali termangu, mayit adalah hamba yang mengemban kefanaan. Hamba yang fana dengan ketidak berdayaan, kepasrahan dan ketiadaan.Â
Mumpung Ramadan jadilah aku mayit itu yang teguh bertawakal kepada Penciptanya. Maha Besar Allah sebaik-baik tempat bertawakal. Aku yang masih terpaku berpangku lutut memuja KebesaranNya. Â Â
@terinspirasi dari Teosofia Al-Quran karya Imam Al-Ghazali
Graha Hijau 22 Ramadan 1442 HÂ Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H