Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ujian, Pengabdian, dan Kematian

24 Januari 2021   17:04 Diperbarui: 24 Januari 2021   20:19 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto by Shutterstock via Kompas.com

Awalnya saya merasa tergugah dengan dua kalimat yang sangat bijak yaitu:  Hidup ini adalah ujian dan pengabdian. Dalam hidup ini satu-satunya kepastian adalah kematian. 

Kalimat pertama bicara tentang ujian. Sebuah kata sederhana namun tidak mudah untuk menyikapinya. Namun ada kata kunci yang harus kita ingat yaitu Tuhan tidak akan menguji kita kecuali sesuai dengan kemampuan kita sebagai hambaNya.

Pandemi corona virus, covid 19 sudah berlangsung hampir setahun ini adalah ujian. Setiap hari selalu ada jatuh korban baik yang terpapar maupun yang meninggal. 

Sejak pertama kali kasus positif virus ini ditemukan pada Maret 2020, hingga kini jumlah penduduk yang terpapar semakin meningkat tajam hari demi hari. Grafik peningkatan mereka yang terinfeksi masih belum melandai tapi cenderung terus naik. 

Di Indonesia sudah terinfeksi covid 19 per 22 Januari 2021 sebanyak 975 ribu dengan jumlah kematian 27.500 orang. Angka yang terinfeksi tersebut sudah hampir mendekati 1 juta orang. 

Tentu ini adalah ujian keprihatinan kita bersama. Sementara itu Pemerintah sangat serius menangani pandemi ini. 

Apalagi sekarang Pemerintah juga harus menghadapi musibah bencana pesawat jatuh, bencana gempa, banjir yang juga memerlukan perhatian dan penanganan yang memadai. 

Sementara program mereka dalam penanganan pandemi terus berlangsung dengan meningkatkan kemampuan testing, tracing, dan treatment. Serta menerapkan transparansi dan keterbukaan sebagai prinsip penanganan covid 19. 

Bagi saya yang berstatus manusia lansia, pandemi ini adalah diary yang terus selalu asyik diikuti. Hanya dengan menyikapinya penuh rasa positif, maka covid 19 semakin terasa akrab didengar dan dibicarakan. Imunitas dalam tubuh kita jangan sampai rusak gegara menyikapi dengan negatif menghadapi pandemi ini.

Namun apakah ada terbersit rasa cemas? Sebagai manusia biasa, pasti rasa cemas tersebut selalu ada dan sangat terasa dalam hati. 

Hanya melakukan aktivitas di rumah saja sejak Maret tahun lalu, merupakan hal yang mungkin menimbulkan kebosanan dan kecemasan. 

Hampir setiap hari grup WA Pensiunan sering kali mengabarkan beberapa rekan pensiunan yang berpulang ke HaribaanNya. 

Walaupun sebagian besar mereka yang berpulang bukan karena covid 19, namun tetap saja berita tersebut menimbulkan rasa cemas. 

Begitu pula berita di Televisi yang mengabarkan wafatnya orang-orang pandai seperti para ulama , dosen, profesor, dokter dan juga tenaga kesehatan yang bertugas menangani covid 19, menjadi catatan saya sehari-hari. Mereka juga meninggal tidak selalu disebabkan oleh corona. 

Kecemasan tersebut kadang hadir ketika mengenang kawan-kawan sejawat serta sahabat-sahabat ketika sama-sama berjuang dulu, satu demi satu harus mendahului pulang ke PangkuanNya. 

Pada saat seperti itu barulah terasa serapuh apa kita yang hanya sebutir debu tidak ada artinya di hadapan Yang Maha Perkasa, Yang Maha Memiliki Kehidupan. 

Saya tentu bersyukur pada usia yang sudah uzur ini sangat memahami arti pengabdian dan berserah diri kepada Yang Maha Memiliki Kekuasaan.   Kendati ketika hati terdalam ini ditanya, sudah siapkan pulang menghadap kepada Yang Maha Pencipta, maka jawabannya adalah gelengan kepala.  

Masih terlalu banyak yang harus terus menerus dibenahi. Berbenah dalam pengabdian tulus adalah wujud pengakuan ketidak berdayaan, wujud kepasrahan yang sempurna. 

Hidup ini adalah ujian adalah benar. Termasuk pandemi yang sudah berlangsung setahun terakhir ini, yakin ini adalah ujianNya. 

Seberapa besar kita sebagai hambaNya mampu menrima ujian ini dan mampu lebih giat lagi mengabdi kepadaNya. Seberapa jauh pula kita mampu menyikapinya dengan baik dan bijak. 

Pandemi ini sudah membukakan mata kita bahwa kematian itu sangat dekat, dekat sekali. Kendatipun sebelum pandemi ini ada, tetap saja kematian itu selalu hadir setiap hari. 

Hanya mungkin saat itu belum kita sadari dibandingkan ketika pandemi ini sudah hadir di tengah-tengah kita. 

Adanya pandemi ini seakan-akan kita semua sedang menunggu giliran saja untuk dijemput Malaikat Pencabut Nyawa. 

Padahal saat pandemi belum ada sejatinya kita juga tetap sedang menunggu giliran untuk berpulang ke Rumah kita yang sesungguhnya. 

Benar kalimat yang menyebutkan bahwa dalam hidup ini, satu-satunya kepastian adalah kematian. Setiap mahluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.  

Ada pandemi covid 19 ataupun tidak momen kematian itu tetap hadir tidak ditunda atau didulukan. 

Setiap orang sudah punya jadwal masing-masing yang tidak bisa lagi dielakkan menghadapi kematian. 

Ujian hidup adalah ketetapan yang merupakan sebuah fase untuk meningkatkan level seseorang di Mata Tuhan. 

Pengabdian adalah hak bagi Yang Maha Pencipta yang ditetapkan kepada para mahluk-Nya. 

Sedangkan Kematian harus dihadapi kapanpun, di manapun karena inilah maqam ridho yang mewujudkan sikap rela terhadap ketetapan-Nya. Mari kita jalani hari demi hari menuju satu titik yang tidak mung kita elakkan. 

Salam @hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun