Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kisah Cinta Jomlo Pesantren (1)

9 November 2020   15:43 Diperbarui: 25 Januari 2021   14:21 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Pixabay

Pertama kali aku bertemu dengannya adalah ketika aku sedang menunggu hujan reda di Halte depan Kampus itu. Lalu kini aku berpapasan di pintu masuk Perpustakaan Pusat. Belum pernah aku bertemu gadis secantik dia. 

BACA JUGA : Kisah Cinta Jomlo Pesantren (2)

Di Kampus ini banyak gadis cantik dari yang wajahnya seperti pemain sinetron atau para pesohor mancanegara. Tetapi kecantikan gadis itu memiliki aura yang berbeda. 

"Hen! Ngapain kamu bengong?" Suara seseorang membuatku kaget. Ternyata Fadli sobat karibku. "Kalau mau bengong jangan di Perpustakaan nanti ditertawakan oleh buku-buku itu." Kata Fadli sambil tertawa. 

"Fad, aku tadi ketemu lagi dengan gadis itu." Kataku memberitahu Fadli jika aku baru saja berpapasan dengan gadis itu di pintu depan. 

"Wah berarti dia anak kedokteran." Tebak Fadli. 

"Belum tentu juga. Ini Perpustakaan Pusat. Tapi kalau aku lihat tadi dia membawa Texbook Chemsitry. Mungkin dia anak Kimia."

"Kamu tadi tidak menyapanya?"

"Enggak. Aku gugup, apalagi dia tersenyum padaku membuatku semakin gugup." Kataku polos. 

Mendengar ini Fadli tertawa walaupun agak ditahan setelah sadar sedang berada di Perpustakaan. 

"Dasar Anak Jomlo!" Fadli mulai nyerempet-nyerempet statusku sebagai anak jomlo yang polos. 

Di kalangan teman-temanku, aku memang dikenal sebagai pemuda jomlo yang polos. Sejak SMA hingga saat ini mau meraih gelar dokter spesialis, aku masih betah menyendiri. Sementara teman-temanku banyak yang sudah berumah tangga atau paling tidak mereka memiliki calon istri. 

Fadli sangat antusias sekali mendorongku untuk segera mendapatkan calon pendamping. Ketika aku bercerita tentang seorang gadis yang sering bertemu di Halte depan Kampus itu, Fadli selalu memberiku spirit. 

Selama ini aku memang hampir tidak pernah bercerita tentang seorang gadis. Bagi Fadli, sahabat karibku, ini suatu kemajuan luar biasa jika saat ini aku sering membicarakan gadis itu. 

"Hen nanti kalau kamu ketemu dia lagi. Berani dong menyapanya. Kenalan siapa tahu gadis itu adalah jodohmu." Suara Fadli mengingatkanku. Aku hanya mengangguk sambil tertawa sumbang. 

Fadli selalu memahami latar belakangku yang sejak kecil berada di lingkungan Pesantren. Bapakku, KH Ahsan Ghufron adalah pendiri dan pemilik Pesantren Darul Madinah yang mengasuh para santri. 

Bagi Fadli, wajar jika aku tidak mengenal seluk beluk dunia "pacaran" yang memang tidak diperbolehkan di kalangan para santri. Fadli juga memaklumi jika aku selalu gugup saat bergaul dengan seorang gadis. 

Tapi bicara seorang gadis, aku pernah mengenal seorang bernama Raina. Dia adalah teman SMP yang pertamakali membuatku jatuh cinta. Mungkin karena masih anak-anak kisah itu hanya sekedar cinta monyet saja. Raina sendiri saat ini entah dimana karena saat masuk SMA, gadis itu pindah ke Kota lain mengikuti tugas dinas orang tuanya yang menjabat sebagai Petinggi Kepolisian. 

Sore itu aku harus berlari mencari tempat berteduh karena hujan deras. Tempat terdekat adalah halte depan kampus itu. Ada beberapa orang yang berteduh di halte itu. Kebanyakan mereka adalah para mahasiswa yang menunggu Bis Trans Kota. Aku membetulkan letak jaketku yang sedikit basah oleh air hujan. 

Tiba-tiba aku melihat sebuah sedan hitam merk Eropa mendekat ke halte. Seseorang berlari dari mobil tersebut dengan payungnya menjemput Gadis yang ada di halte. Aku terkejut gadis itu ternyata dia. 

Belum sempat aku menyapanya walaupun hanya sekeder ber "hai", gadis itu sudah berlalu bersama lelaki berpayung itu. Sedan hitam itupun berlalu menembus derasnya air hujan. Sementara aku masih berdiri di halte ini kedinginan. 

Hujan masih deras turun ke bumi dan aku asyik dengan pikiranku tentang gadis tadi yang selama ini selalu menghiasi setiap relung hatiku. Belum pernah aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Siapakah sebenarnya dia? 

@hensa   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun