Sore itu Cafe Historica yang berada di Jalan Sumatera Gubeng Surabaya ini masih sepi. Para pengunjung biasanya mulai rame pada malam hari. Â
BACA JUGA : Sejak Malam Jahanam Itu
Tempatnya tidak begitu luas, tapi penataan tempat duduk yang tepat dan perpaduan warna serasi putih hitam yang kontras, membuat tempat ini terasa lega dan nyaman.
Dalam suasana tenang itu, duduk di depanku Audray Lin. Gadis cantik sensual ini masih asyik mempermainkan jemarinya yang lentik. Aku melihat sebentuk cincin bermata intan melingkar di jari manisnya.
Hening sekali. Andaikan saja ada sebuah jarum jatuh ke lantai maka bunyi dentingnya akan terdengar nyaring. Audray Lin baru saja bercerita tentang dirinya yang membuat aku tertegun takjub.
Sementara itu aku belum mampu berbicara sepatah katapun. Tanganku masih menggenggam kartu Undangan Pernikahan berwarna pink itu. Di luar hujan rintik-rintik masih menyuarakan nyanyian tak berirama.
"Lin kenapa dengan dirimu?"
"Tidak apa-apa, Pak Alan."
"Kamu tidak melakukan.., maaf aborsi?" Tanyaku sangat hati-hati.
Audray hanya menggelengkan kepalanya dengan sangat meyakinkan. Â Matanya memandangku tajam. Sungguh gadis mandarin ini begitu cantik dalam tatapan mata setajam sembilu. Namun aku melihat Audray Lin mulai terisak.
Aku merasa lega Audray tidak melakukan hal yang aku takutkan, aborsi. Namun ada rasa sesal dengan pertanyaan tadi seolah menjadi sebuah tuduhan.
"Maaf Lin. Aku tidak bermaksud menuduhmu. Sudah lama aku mencarimu untuk bertanggung jawab." Kataku tegas.
"Iya Pak. Saya tahu. Tapi saya bukan orang yang Bapak cintai. Cinta itu tidak bisa dipaksakan." Suara Audray Lin disela isaknya sambil menunduk.
"Pak Alan milik Bu Kinan." Tambahnya. Aku hanya terdiam mendengar kalimat itu.Â
Aku tidak melihat wajah Audray Lin yang periang. Wajah oval yang cantik itu kelihatan muram seperti ada mendung mengurungnya.
Gadis di depanku ini telah memberikan cintanya padaku dengan sebuah pengorbanan yang tidak tergantikan. Dia mengatakan bahwa itu adalah kesalahannya karena terlalu mencintaiku.
"Lin bisakah kamu pikirkan lagi. Aku sudah siap bertanggung jawab." Kembali aku menegaskan dan menunjukkan bahwa aku sangat bersungguh- sungguh untuk bertanggung jawab.
"Pak Alan. Semua sudah terjadi. Bapak tidak perlu seperti itu karena Bapak tidak bersalah. Saya yang bersalah karena saya terlalu mencintai Bapak. Sedangkan Pak Alan adalah milik Bu Kinan." Suara Audray kali ini sudah mulai tegas karena isaknya sudah reda.
"Pak Alan tidak perlu khawatir. Tidak terjadi apa-apa dengan diri saya. Hanya berharap agar Bapak dan Bu Kinan bisa hadir di acara pernikahan kami nanti." Tambah Audray dengan senyum tulus.
Sungguh aku tertegun tidak bisa berkata lebih banyak lagi. Dengan sikapnya itu, aku merasakan bahwa Audray Lin sudah mengorbankan dirinya.
Aku menatap Audray Lin. Kugenggam tangannya. Gadis ini tersenyum walaupun masih kulihat sisa airmata di sudut matanya.
"Saya tidak bisa melupakan Pak Alan. Terutama malam itu adalah yang terindah dalam hidup saya." Bisik Audray Lin lirih. Matanya berbinar memandangku penuh rasa cinta. Aku merasakan hal itu jadi tersentuh. Â
Tetapi aku hanya mampu terdiam. Mulutku membisu, hatiku juga membatu. Penuh dengan bongkahan dosa yang kelam. Menjadi sisi lain yang aku rasakan saat ini.
Rinai gerimis di luar masih masih setia mendera rasa dingin dengan cekaman kejam. Sedingin perasaanku yang tidak mampu menaklukan rasa sesalku ini.Â
Kartu Undangan Pernikahan berwarna pink itu masih kugenggam. Ketika aku membukanya. Tertulis dengan huruf yang indah, menikah Audray Lin dan Hansi Tanujaya.
Aku masih termangu memandang kartu undangan pernikahan Audray Lin itu. Pernikahannya bukan membuat kelegaan namun justru menimbulkan rasa bersalah baru. Rasa bersalah ini bisa terus menghantuiku sepanjang hidupku.
Audray Lin aku tidak bisa memahami yang ada dalam dirimu. Pengorbanan yang paling gila, sudah dia lakukan hanya untuk sebuah cinta butanya.
Mungkin lebih gila lagi yang terjadi dengan diriku. Alan Erlangga yang selalu menjunjung cinta ternyata juga sudah mengotorinya dengan kotoran dosa menjijikkan.
Aku rasanya sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Kinanti Puspitasari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H