"Siapa tahu Subuh nanti, Malayeka mengalunkan Tilawah Al Quran di Gedung Tua itu." Kata Reza semakin penasaran ingin bertemu Malayeka.Â
"Kamu berani bertemu Malayeka? Kata Ustad Hakim, wajah Malayeka menakutkan," tanyaku.Â
"Ya aku hanya ingin tahu saja. Karena kata Ustad Hakim, tidak sembarangan orang bisa ketemu Malayeka."
"Oh begitu?" Reza mangangguk kemudian melanjutkan bicara. "Hen, mangkanya kamu itu punya ilmu yang kamu sendiri tidak menyadari."
"Reza, jangan ngawur. Aku tidak punya ilmu apapun. Kalau aku punya ilmu, mana mungin aku bisa kecanduan obat biadab ini." Kataku sambil tertawa lepas.Â
Aku baru tahu dari Reza sahabat baruku di Pesantren itu, bahwa Malayeka adalah mahluk halus yang sering hadir di Masjid Pesantren itu. Tidak semua Santri atau Santriwati mampu memergokinya.Â
Menurut penuturan Reza, mereka para pasien kecanduan Narkoba itu jika sudah bertemu Malayeka, umumnya mengalami kesembuhan yang cepat. Aku ingin jujur bahwa hal itu memang benar. Tapi menurutku bukan karena Malayekanya tetapi dari terapi alunan tilawah Al Quran itu dan petuah-petuahnya.Â
Petuahnya yang sangat kuat dalam ingatanku adalah : "Peperangan paling berat itu adalah menundukkan diri sendiri." Kalimat yang sangat membara penuh semangat untuk kesembuhanku dari ketergantunganku pada narkoba.Â
Usai Subuh itu selesai membaca semua dzikir yang diajarkan di Pesantren ini, aku dan Reza bersepakat untuk menuju Bangunan tua sebelah Barat, dimana biasanya Malayeka membaca Al Quran.Â
Kami melangkah menuju ke sana. Ya Tuhan benar saja, suara alunan tilawah Al Quran terdengar sangat damai.Â
"Malayeka sedang mengaji Quran. Kamu dengar Reza?"