1/
Gereja Katedral Santo Petrus, Minggu pagi itu penuh dengan para Jemaat.Â
Bangunan klasik bergaya arsitektur Neo-Gothic mutakhir yang dirancang oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker yang mashur itu, terlihat penuh wibawa.
Bagi Rini misa pagi itu sangat menyentuh hati mengiringi langkahnya meninggalkan Rumah Tuhan dengan penuh kedamaian.
Seperti biasa usai mengikuti misa, Rini selalu menatap Taman di seberang jalan. Biasanya di sana ada seorang pemuda yang selalu melempar senyum kepadanya.
Minggu pagi itu Hendra baru saja selesai berolah raga pagi di sekitar Taman itu.
"Hei Hen. Kamu rajin sekali sepagi ini sudah berolah raga," sapa Rini menatap pemuda di hadapannya.
"Iya Rin. Kamu juga hebat sepagi ini sudah beribadah di Gereja,"puji Hendra sambil menatap gadis yang sangat dikaguminya itu.
Mereka saling melempar senyum lalu duduk di sebuah kursi besi dekat kolam air mancur yang memancarkan airnya yang segar.
Itulah momen-momen yang tidak pernah Rini lupakan bersama Hendra. Rini tidak pernah terpikir sebelumnya jika dia sangat menyukai Hendra.
2/
Rini masih memegang selembar kertas buku tulis itu sambil membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di dalamnya.
Gadis rupawan berusia 17 tahun ini seolah tidak percaya bahwa pemuda pemalu seperti Hendra ternyata sangat berani mengutarakan isi hatinya melalui selembar kertas merah jambu itu. Isinya sangat mengesankan hatinya.
Hendra pemuda pemalu. Maka awalnya mereka hanya saling menyapa saling melempar senyum setiap pagi mereka bertemu di Pintu Gerbang Sekolah. Tetapi hanya sekedar itu.
Namun sepucuk surat yang digenggamnya adalah keberanian Hendra untuk mengutarakan isi hatinya.
Rini menyukai Hendra karena pemuda ini sangat baik, sopan dan pintar. Bukan dia saja yang menyukai Hendra, setiap orang di kelasnya menyukai Hendra.
Untuk pertama kalinya gadis itu menerima sepucuk surat cinta dari seorang pemuda. Tentu saja perasaannya melambung tinggi hingga ke langit tingkat teratas.
Apalagi pemuda teman sekelasnya tersebut demikian pandai merangkai kata demi kata dalam surat tersebut. Sudah sejak lama juga Rini menunggu saat seperti ini.
Rini tahu setiap bertemu dengan Hendra, pemuda sopan teman sekelasnya itu, seolah ada perasaan yang berbeda sejak dirinya menerima surat cinta darinya.
Hendra adalah pemuda tampan, pintar dan cerdas. Namun sangat pemalu sehingga setiap Rini berjumpa, dia tidak berani menanyakan kepada tentang balasan suratnya.
Jikapun mereka berbincang maka yang diperbincangkan adalah topik pelajaran yang baru saja usai. Atau rencana studi bersama mengerjakan pekerjaan rumah Matematika.
Rini sering mendapatkan bimbingan pelajaran Matematika dari Hendra. Gadis ini sebenarnya bisa merasakan jika pemuda itu selalu menunggu balasan suratnya. Â
Istirahat siang itu seperti biasa Rini selalu mengunjungi Kantin Sekolah di ujung Barat bersebelahan dengan Musholla. Seperti biasa pula dia pasti berpapasan dengan Hendra yang dikaguminya itu yang baru saja usai sholat Dhuhur.
Mereka biasanya hanya bisa melempar senyum saja. Padahal Rini tahu dalam senyum pemuda itu terkandung sebuah tanya tentang balasan surat cintanya.
Sesungguhnya Rini tidak berdaya menghadapi perasaannya namun dia masih juga belum bisa menjawab surat cinta pemuda itu.Â
3/
Gereja Katedral Santo Petrus, Minggu pagi itu seperti biasanya penuh dengan para Jemaat.
Rini baru saja selesai mengikuti misa pagi itu. Keluar dari Gereja mata indah gadis itu memandang ke Taman di seberang jalan. Dia berharap di kursi besi dekat kolam air mancur itu ada Hendra duduk di sana.
Gadis remaja yang sedang tumbuh ibarat bunga merekah penuh aura yang indah. Rambut hitam yang terurai sebatas bahunya, sepasang mata yang tajam dengan hidung mancung dan bibir ramah penuh dengan hiasan senyum.
Seorang gadis sempurna. Dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga Katolik yang taat, Rinipun tumbuh dengan prinsip dan karakter kuat.
Sangat jarang gadis seusianya sudah memegang prinsip dan karakter yang kuat terhadap nilai-nilai agamanya.
Taat kepada kedua orang tuanya yang selalu mengajarkan kepatuhan pada ajaran yang dianutnya. Rini adalah sosok gadis yang patuh itu.
Rini selalu ingat pesan Ibunya yang selalu mengutip ajaran penting dari Al Kitab:Â
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
Nasihat Ibunya adalah carilah pasangan yang seimbang yang seiman.
4/
Empat puluh tahun kemudian.
Rini seusai mengikuti misa di Gereja Katedral Santo Petrus itu, bergegas menuju kursi besi dekat kolam air mancur Taman seberang jalan itu.
Rini hanya duduk di sana sambil membayangkan ada Hendra di sisinya. Tetiba ada suara memanggilnya. Suara yang sangat akrab dengan hatinya.
Hendra berdiri di hadapannya. Pemuda itu tersenyum sambil menyapa.
"Hai Rini!" Sapa Hendra tersenyum.
Rini seakan tak percaya yang ada di hadapannya adalah Hendra. Dia masih menatap lelaki itu dengan perasaan tidak percaya.Â
"Hen, maafkan aku tidak bisa membalas surat cintamu." Suara Rini terbata-bata.
Dia masih bisa melihat Hendra tersenyum sebelum berangsur-angsur bayangan lelaki itu hilang. Ketika tersadar, Rini hanya bisa terisak. Lelaki pujaannya itu memang sudah tiada beberapa tahun yang lalu.Â
Salam @hensa persembahan untuk Rini di sana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H