Aku tidak ingat entah sudah berapa lama dalam keadaan pingsan tadi. Ini untuk yang kesekian kalinya aku tidak sadarkan diri.Â
Saat tersadar, sayup aku mendengar suara dokter bicara kepada perawatnya bahwa aku sudah sangat kritis. Virus ini sangat jahat menggerogoti tubuhku.Â
"Dari hari ke hari kondisinya semakin menurun. Apalagi ada penyakit hipertensi bawaan yang membuatnya semakin parah."
Itu suara dokter Fahmi yang selalu setia merawatku dibantu Intan, seorang perawat cantik yang harus menunda acara pernikahannya karena tugas ini.Â
Piranti infus dan ventilator masih terpasang utuh berfungsi dengan baik. Aku masih berjuang untuk membuka kedua mataku.Â
Memang mata ini terasa berat tetapi akhirnya aku mampu juga melihat ke sekeliling ruangan perawatan ini. Ingatanku perlahan mulai pulih.Â
Tiga belas hari yang lalu aku terbaring di kamar yang nyaman ini. Ruangan berdinding putih bersih, rapi, ber AC. Dengan piranti kesehatan yang lengkap untuk menjamin perawatan yang optimal.Â
Ini memang RS Darurat tapi memiliki fasilitas yang memadai. Karena gedung ini adalah Wisma yang pernah dipakai dalam ajang olah raga terbesar di Asia.Â
Ruangan kembali sepi. Hanya terdengar detak suara jantung yang semakin melemah. Aku masih terbaring tak berdaya. Aku mendengar ada suara kaki mendekati ranjang tempatku berbaring.Â
"Oh Tuhan. Detak jantungnya berhenti." Suara Perawat cantik bernama Intan itu sambil memperhatikan piranti monitor yang menunjukkan grafik detak jantung yang sudah terlihat melandai.Â