Aku kehilangan Diana Faria, gadis yang sangat kucintai, karena kecelakaan lalu lintas. Setelah dirawat secara intensif selama beberapa hari, akhirnya Diana tidak sanggup bertahan. Diana Faria menghembuskan nafas terakhirnya persis seminggu sebelum hari pernikahan kami.Â
Hari Rabu itu, untuk pertama kalinya aku memberikan mata kuliah tentang Instrumen Analisa Laboratorium di Ruang Fakultas Farmasi Lantai dua. Ada sekitar 50 orang mahasiswa semester tujuh yang hadir dalam sesi kuliah pagi itu.
Mata kuliah ini dan Praktikumnya, wajib mereka ikuti pada semester tujuh karena sangat berguna untuk para mahasiswa yang nanti pada awal semester delapan sudah mulai mengambil penelitian untuk skripsi.
BACA JUGA : Harapan Tinggi Dosen Jomblo
Aku memperhatikan sekeliling kelas. Suasana begitu tenang dan mahasiswa dengan wajah-wajah yang baru kukenal, terlihat antusias mengikuti presentasi yang aku berikan pada kuliah pertama mereka. Suasana kuliah terasa sangat hangat ketika memasuki sesi bertanya jawab. Tidak diduga pada sesi ini sangat menarik minat mahasiswa untuk bertanya. Aku juga sangat antusias menjawab semua pertanyaan mereka.
"Masih ada yang ingin ditanyakan? Atau semuanya sudah jelas?" Kataku dengan suara lantang di depan kelas dalam suasana seakan bungkam. Suasana hening beberapa saat. Mungkin jika saja ada jarum jatuh ke lantai maka suaranya bisa terdengar jelas. Tetapi ketika aku mau menyudahi sesi kuliah ini, tetiba seorang mahasiswi mengangkat tangannya.
"Masih boleh bertanya Pak?" Tanya seorang mahasiswi sambil mengangkat tangannya. Aku sejenak memandang ke arah suara mahasiswi itu. Untuk sesaat aku terperanjat ketika melihat wajahnya. Benarkah ada Diana Faria di sini? Tanyaku dalam hati. Gadis ini sungguh memiliki kelembutan wajah yang mirip Diana Faria.
"Ya! Silakan!" Kataku masih tetap tak berkedip memandang gadis berwajah lembut itu. Sungguh aku terpana menatap wajah cantik dengan bola mata yang indah, dan memiliki tatapan yang tajam seolah mampu menembus hatiku. Seperti tatapan mata sejuk Diana Faria.
"Apakah untuk senyawa karbohidrat diperlukan kolom fase diam yang berbeda jika fase geraknya berbeda?" Tanya gadis itu sambil memandangku.
Aku memandangnya dan aku melihat wajah itu adalah Diana Faria bahkan kelembutan suaranya juga benar-benar mirip.
"Ya benar. Fase diam dan fase gerak dalam teknik analisa kromatografi merupakan dua komponen yang harus serasi. Hal ini karena akan menentukan hasil pemisahan komponen dengan waktu retensi yang saling berjauhan." Jawabku sambil menatap mata indah gadis di depanku ini. Mahasiswi penanya tampak puas dengan jawabanku. Dia mengucapkan terimakasih sambil tersenyum menawan.
Mahasiswa farmasi harus terampil melakukan pekerjaan analisa di laboratorium dengan metode kromatografi, teknik pemisahan komponen zat farmasi dengan menggunakan instrumen analisa. Salah satu alat canggih yang kerap digunakan adalah High Performance Liquid Chromatography (HPLC).[1]
Aku sangat terkesan dengan gadis itu bukan karena pertanyaannya tapi justru karena sosoknya. Siapakah dia? Aneh, ada rasa rindu yang terungkap ketika aku memandang wajah lembut gadis itu. Rindu kepada Diana Faria, yang sudah menahun tersembunyi jauh di dalam hati, seolah menyeruak kembali kepermukaan ketika memandang wajah gadis itu.
Sejak memberikan kuliah yang pertama itu, aku selalu ingin cepat-cepat untuk bertemu lagi dengan gadis yang mirip dengan Diana Faria. Mata kuliah yang aku berikan pada program sarjana memang hanya seminggu sekali. Jadi, jika ingin jumpa lagi dengannya harus menunggu satu pekan. Sebagai dosen senior, aku memang lebih banyak mengisi program kuliah pada pasca sarjana dan hanya sedikit mengisi mata kuliah untuk program S1.
Hari ini aku kembali bertemu Rabu. Ketika aku memasuki ruang kuliah, mahasiswa sudah siap mendengarkan presentasiku. Aku memulai presentasi sambil sesekali mengamati wajah gadis yang mirip Diana Faria itu.Â
Dia duduk di depan seperti sesi kuliah minggu lalu. Ada semangat lebih ketika aku memberikan mata kuliah kali ini. Dan waktupun seperti cepat berlalu ketika akhirnya sesi kuliahku itu harus berakhir. Â Â
"Minggu depan mulai praktikum. Jadwal lengkap dengan kelompok dan asisten praktikum sudah bisa kalian lihat pada papan pengumuman fakultas." Aku mengakhiri presentasi kuliah hari ini dengan pemberitahuan jadwal praktikum di laboratorium.
Para mahasiswa pun berhamburan keluar ruangan termasuk gadis yang berwajah mirip Diana Faria. Jadwal praktikum sudah dimulai hari Senin artinya ada kesempatan bertemu rutin dengan gadis itu selain pada hari Rabu. Dan entah kenapa aku merasa begitu bahagia.
Di ruang kerjaku, usai makan siang, aku bermaksud menyelesaikan makalah untuk simposium farmakologi di Bandung. Namun kembali tertunda ketika Daniar, mahasiswa bimbinganku muncul di ambang pintu ruang kerjaku yang dibiarkan terbuka. Daniar mohon izin untuk konsultasi skripsi.
"Maaf Pak Alan, mengganggu," kata Daniar sambil masuk dan menghampiri meja kerjaku. Aku mempersilakannya duduk. Daniar menyerahkan draft skripsinya yang sebulan lalu aku revisi.
"Oh ya Niar, apakah persiapan praktikum sudah final, tidak ada masalah kan?" Tanyaku sambil membuka lembaran drarft skripsinya. Daniar adalah salah satu asisten praktikum mata kuliahku bersama dengan mahasiswa lainnya, Dony. Mereka adalah mahasiswa tingkat skripsi yang kuberi kepercayaan menjadi asisten praktikum Instrumen Analisa Kimia.
"Sudah siap Pak. Jadwalnya Senin dan Kamis mulai jam dua siang."
"Senin depan berarti sudah bisa dimulai ya?"
"Betul Pak. Ada sepuluh grup praktikum, semuanya dibagi dua untuk Senin dan Kamis, masing-masing lima grup." Daniar menjelaskan detail tentang praktikum mahasiswa.
"Baik nanti Senin pada pembukaan awal praktikum saya mau hadir."
"Baik Pak. Kalau begitu saya pamit dulu," kata Daniar pamit sambil berdiri dan lalu meninggalkan ruangan kerjaku.
Laboratorium Instrumen Analisa Kimia siang hari itu sudah dipenuhi oleh mahasiswa yang mengawali praktikum. Semua kelompok diharuskan hadir untuk mendengar penjelasan umum praktikum.
Kulihat Dony dan Daniar secara bergantian memberikan uraian teknis dan tata tertib praktikum dengan alat-alat laboratorium. Aku memang biasa meluangkan waktu untuk hadir pada awal pembukaan praktikum hanya sekedar mengawasi kegiatan mereka.
Kulihat gadis berwajah Diana Faria itu dengan balutan jilbab berwarna merah muda. Matanya yang teduh memandang lurus ke depan memperhatikan para asisten praktikum memberikan penjelasan. Selesai uraian teknis praktikum dilanjutkan dengan absensi pembagian kelompok untuk hari Senin dan Kamis.
Daniar mulai melakukan absensi. Satu per satu mahasiswa dipanggil dan mereka mengangkat tangannya. Aku dengan seksama menunggu gadis berwajah mirip Diana Faria itu mengangkat tangan saat namanya dipanggil.
"Daisy Listya!" Suara lantang Daniar memanggilnya. Gadis cantik itu mengangkat tangannya sambil tersenyum menawan. Ketika dia tersenyum kulihat matanya berbinar memancarkan aura positif.
Ah ternyata dia bernama Daisy Listya, nama yang indah. Nama sekuntum bunga lambang kesucian, kepolosan, kejujuran. Kembali aku memandang gadis bernama Daisy Listya itu. Sungguh di wajahnya ada Diana Faria, benar-benar sangat menakjubkan kekuasaan Allah.
Senin siang itu, seusai memberikan kuliah di Gedung Pasca Sarjana, aku menyempatkan singgah di Laboratorium Instrumen Kimia yang tempatnya memang saling berdekatan. Dony dan Daniar segera menghampiriku ketika melihatku memasuki ruang laboratorium.
"Dony, Niar. Apakah praktikumnya berjalan lancar?"
"Lancar Pak. Hanya alat Spektrofotometer[2] yang baru datang kemarin belum sempat dikalibrasi[3]," Dony menjelaskan soal alat baru yang perlu dikalibrasi. Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Dony.
Aku sebenarnya lebih fokus memperhatikan Daisy Listya yang sedang melakukan praktikum HPLC bersama grupnya. Gadis itu sangat terampil mengerjakan sampel-sampel yang disediakan sebagai bahan praktikum. Kulihat gadis bernama Daisy Listya itu menguasai betul seluk beluk alat analisa.
"Daniar, kelihatannya anak itu cukup terampil juga mengerjakan praktikum HPLC," kataku kepada Daniar sambil menunjuk ke arah Daisy Listya.
"Oh iya Pak! Dia namanya Listya. Memang anaknya cerdas. Dia cepat menerima penjelasan praktikum dan kerjanya juga sangat teliti." Daniar memuji. Perlahan aku berjalan menghampiri meja praktikum Listya diikuti juga oleh Dony dan Daniar.
"Listya. Berapa microliter sampel yang di inject?" Tanyaku sambil menatap gadis itu. Listya mengalihkan wajahnya dari alat praktikum dan menoleh ke arahku sambil tersenyum. Ya Tuhan, ini senyum Diana Faria.
"Sepuluh microliter Pak Alan," jawab gadis cantik itu. Ini juga sapaan pertamanya padaku.
Mendengar penjelasan Listya, aku tersenyum sambil mempersilakannya untuk kembali melanjutkan praktikum. Kemudian tidak lama aku segera berpamitan kepada Dony dan Daniar.
"Pak Alan baru selesai mengajar di Pasca?" Tanya Dony saat mengantar ke pintu.
"Iya Don. Oh ya, laporan praktikum mahasiwa minggu lalu yang sudah kamu periksa, tolong dikirim ke ruang saya besok pagi."
"Baik Pak!" Sahut Dony sambil mengangguk.
"Ok Dony! Titip anak-anak ya," kataku dan Dony sekali lagi mengangguk sambil tersenyum.
Momen pertama berbicara dengan Listya bagiku seperti awal dari kebahagiaan. Aku menunggu kesempatan berikutnya untuk bisa berbicara lagi dengan gadis itu dan semoga bisa mengobrol lebih lama.
Saat ini pada usiaku yang sudah hampir empat puluh tahun. Untuk pertama kalinya hati ini mulai terbuka lagi setelah hampir 15 tahun. Sudah selama itu aku kehilangan Diana Faria, gadis yang sangat kucintai, karena kecelakaan lalu lintas.
Setelah dirawat secara intensif selama beberapa hari, akhirnya Diana tidak sanggup bertahan. Diana Faria menghembuskan nafas terakhirnya persis seminggu sebelum hari pernikahan kami.
Sejak saat itu duka yang sangat mendalam menjadi bagian dari hari-hariku. Bertahun-tahun aku tenggelam dalam kedukaan karena kehilangan wanita yang paling aku cintai. Ujian yang sangat berat dalam hidupku walau aku juga menyadari bahwa Tuhan selalu memberikan pilihan keputusan takdir terbaikNya.
Sejak itu pula aku menjadi orang yang seakan menutup diri terhadap wanita. Diana Faria adalah cinta pertamaku. Dan kepergiannya seolah membawa pula cinta itu bersamanya. Aku mencoba mencari pelarian. Menenggelamkan diriku pada pekerjaan dan menumpahkan seluruh perhatianku pada karirku sebagai dosen.
Aku sempat mengambil pendidikan S2 dan S3 di Australia selama delapan tahun. Kegigihan dan kerja kerasku akhirnya berbuah. Pada saat berusia tiga puluh empat tahun, gelar S3 bisa kuraih. Dan itu memberiku predikat Doktor Farmasi paling muda di fakultas tempatku mengajar. Dalam waktu tidak sampai Lima tahun predikat profesor pun bisa kuraih sebelum usiaku mencapai empat puluh tahun.
Prestasi itu adalah hasil dari berjuang keras untuk berlari dari duka yang mendalam karena ditinggalkan orang yang sangat kucintai.
Saat ini kehadiran Daisy Listya seolah perlahan membuka lagi harapan yang dulu turut terkubur bersama kepergian Diana Faria yang tragis. Â Adalah satu keajaiban jika saat ini Daisy Listya mampu mencairkan hatiku yang sudah 15 tahun membeku. Setiap bertemu Listya ada semangat dan gairah yang dulu aku rasakan ketika bersama Diana Faria.
Keinginanku untuk bisa mengobrol lebih lama dengan Listya akhirnya dapat terwujud. Saat itu Sabtu sore, di tengah-tengah gerimis Kota Surabaya, secara tidak sengaja aku melihat Listya tengah berdiri di halte bis depan kampus. Segera saja aku menepi.
"Listya! Mau kemana?" tanyaku sambil menghentikan mobil di sampingnya.
"Mau ke Terminal Bungurasih Pak," sahutnya, dengan keterkejutan yang tampak nyata diwajahnya ketika dia melihatku.
"Bareng saya saja. Kita satu arah," kataku menawarkan tumpangan, "kebetulan arah pulang saya lewat situ," imbuhku. Listya terlihat ragu atau mungkin merasa sungkan.
"Ayo Lis nanti keburu hujan tambah deras," aku kembali mengajaknya. Listya menerima tawaranku. Gadis itu mengucapkan terima kasih, setelah masuk ke dalam mobil, dan duduk dengan manis di samping kiriku.
Rutinitas kemacetan kota Surabaya pada Sabtu sore itu sangat kunikmati bahkan sangat aku syukuri. Bagaimana tidak, semakin macet maka aku bisa berlama-lama dengan Daisy Listya.
"Listya memangnya mau ke luar kota?" tanyaku ketika aku tahu gadis ini menuju Bungurasih, terminal bus antar kota yang ada di Surabaya.
"Saya tinggal di Malang Pak. Setiap Sabtu pada akhir bulan saya pulang," jawab Listya sambil menoleh ke arahku.
"Saya kira orang Surabaya," gumamku sambil tersenyum, "berarti kost dong selama ini."
"Iya Pak. Saya kost di dekat kampus yang jaraknya cukup hanya dengan berjalan kaki," suara Listya terdengar lembut.
Kami cukup banyak bercerita. Obrolan kami diselingi cerita-cerita lucu yang mengundang tawa. Ternyata gadis ini sangat terbuka dan ramah. Listya juga tidak keberatan bercerita tentang keluarganya.
Selama perjalanan itu sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Daisy Listya adalah nama yang indah. Nama yang mudah diingat, bukan saja karena nama yang hanya dua kata namun juga memiliki aura kecantikan yang berkepribadian. Tidak terasa perjalanan kami akhirnya berakhir di Terminal Bungur Asih. Listya berpamitan sambil mengucapkan terima kasih.
Semester tujuh dilalui dengan enam belas pertemuan sesi kuliah. Sebanyak itu pula aku bisa bertemu dengan Daisy Listya. Bahkan mungkin lebih, jika ada juga pertemuan yang diluar jam kuliah. Ujian akhir semesterpun sudah usai dan nilai-nilai  mahasiswa juga sudah keluar.
Satu semester bersama Listya telah mengembalikan gairah dalam hidupku yang selama ini hambar. Dia memiliki karakter yang kuat, sangat memegang kuat berprinsip. Setidaknya itu yang dapat aku lihat dari kepribadiannya, selama beberapa minggu ini mengenalnya. Penampilannya sederhana dengan postur semampai tapi proporsional. Wajahnya dibiarkan alami tanpa riasan namun tetap memancarkan aura kecantikannya.
Aku bersyukur bertemu dengannya namun tetap mencoba untuk realistis dan tidak terlalu berharap banyak apakah Daisy Listya bisa memahami perasaanku. Aku menyadari usianya yang saat ini baru dua puluh satu tahun, terlalu muda untukku. Mungkin dia tidak memiliki perasaan apapun kepadaku. Mungkin dia hanya menghormatiku sekedar sebagai dosen pembimbingnya.
Usiaku hampir empat puluh tahun sedangkan usianya separuh usiaku. Dia cantik dan menawan, rasanya sangat masuk akal kalau saat ini Daisy Listya sudah punya pacar. Dan sangat sulit---dan terlihat konyol, kalau aku harus bersaing dengan pemuda berusia dua puluhan, yang tengah ada dalam masa prima.
Jadi, biarlah untuk sementara ini aku menikmati gairah muncul kembali ini dengan diriku sendiri saja. Merasakan kebahagiaan yang dulu pernah kumiliki untuk saat ini saja sudah cukup untukku. Menikmati kedamaian di hatiku setiap kali mendengar suaranya yang lembut. Merasakan luapan gairan ketika aku memandangi wajahnya yang memesona.
Daisy Listya bukan Diana Faria namun ada aura Diana Faria dalam dirinya. Dan hal itu yang mendorongku untuk mulai melangkah lagi meraih cintaku yang pernah hilang.
Daisy Listya ibarat puspita di hati yang mulai merekah. Dan aromanya yang semerbak ibarat asa yang mewangi memenuhi ruang hati. Mungkinkah asa itu bisa terus memenuhi ruang hatiku?
Salam hangat @hensaÂ
Keterangan : [1] Instrumen Laboratorium Farmasi untuk analisa suatu senyawa.Â
[2] Instrumen Laboratorium Farmasi untuk analisa komponen berdasarkan warna.
[3] Peneraan alat untuk memastikan keakurasian hasil analisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H