Terus terang saya tidak percaya tentang kutukan dalam sepakbola atau apapun. Selama ini Jurgen Klopp selalu dikatakan mendapat kutukan pada saat klubnya lolos ke final.Â
Hal itu juga terjadi dalam 2 final Liga Champions  sebelumnya bersama Dortmund yang kalah dari Bayern Munich tahun 2013 dan Liverpool yang kalah dari Real Madrid tahun 2018 lalu.
Oleh karena itu saya tidak mau latah membuat judul ketika banyak judul artikel yang menyebutkan Jurgen Klopp bebas dari kutukan saat Liverpool akhirnya memenangkan final Liga Champions 2019. Laga yang berlangsung Minggu (2/6/19) di Estadio Metropolitano Madrid dimenangkan The Reds 2-0 atas Tottenham Hotspur.
Banyak pengamat yang sebenarnya sudah memprediksi kemenangan Liverpool atas Tottenham ini. Alasannya Liverpool lebih berpengalaman dalam ajang Liga Champions.Â
Tentu saja hal ini adalah wajar, Liverpool sudah pernah juara diajang bergengsi ini sebelumnya sebanyak 5 kali dibandingkan dengan Tottenham yang belum pernah sama sekali. Bahkan bermain sebagai finalis saja, Tottenham baru kali ini terjadi.
Kendati demikian setelah Liverpool benar-benar meraih Trofi Liga Champions ini maka mereka layak mendapatkan ucapan selamat. Hanya saja kemenangan Liverpool atas Tottenham dicapai dengan permainan mereka yang diluar dari biasanya.Â
Liverpool bermain lebih pragmatis. Simak menurut UEFA.com (2/6/19), mereka hanya memiliki 38 persen ball possession. Namun mereka efektif bermain buktinya berhasil mencetak dua gol pada menit ke-2 dan pada 3 menit sebelum laga berakhir.
Performa Liverpool ini sangat menarik dicermati. Jose Mourinho adalah mantan Manajer beberapa klub Eropa yang sempat memberikan penilaian tentang kinerja Liverpool di malam final tesebut. Mourinho terkesan merasa heran dengan penampilan Liverpool.
Kepada Skysports.com (2/6/19), inilah pandangan Mourinho tentang kinerja Liverpool: "Saya pikir tiga pemain lini tengah Liverpool, jika kita akan melihat gelombang posisi mereka, mereka bermain pada garis lurus di depan empat bek. Anda tidak ingat Henderson, Wijnaldum, Fabinho, Milner yang dekat dengan tiga pemain penyerang, memiliki satu yang tiba di kotak, tidak ada. Mereka tinggal di blok tujuh, mereka sangat pragmatis, sangat solid membela diri."
Mourinho bahkan menganggap bahwa jika pertandingan ini bukan final Liga Champions, hanya pertandingan Liga Premier, atau final Piala Liga, maka semua orang akan mengatakan bahwa permainan seperti itu tidak baik.
"Karena ini adalah final Liga Champions, ini memiliki sisi emosionalnya, walaupun kualitas permainannya tidak baik. Tottenham harus frustrasi, karena mereka kalah dan mereka merasa bahwa mereka lebih baik dari ini. Momen-momen besar ini adalah ketika Anda harus berada di level terbaik Anda." Demikian Jose Mourinho mengemukakan pendapatnya tentang final tersebut seperti dilansir Skysports.com (2/6/19).
Pada babak pertama setelah gol penalty Mohamed Salah di menit ke-2 itu, Liverpool secara terus menerus mendapat tekanan hebat dari Tottenham. Benar apa kata Mourinho dengan situasi seperti ini lini tengah Liverpool yang terdiri dari Henderson, Fabinho dan Wijnaldum terpaksa harus bertahan. Mereka hanya melakukan serangan balik melalui Mane, Mohamed Salah dan kedua bek sayap, Alexandre-Arnold dan Robertson.
Jurgen Klopp rupanya berhasil menyerap ilmu Mourinho dengan menerapkan sisi pragmatis sepakbolanya kendati Klopp sesekali masih tetap menerapkan "gegenpressing" model The Reds. Bagaimanapun juga malam itu Liverpool sangat kental dengan sepakbola pragmatis yang efektif.
Liga Champions untuk Trofi yang ke-6 sudah diraih oleh Liverpool. Hal ini mungkin yang terpenting dari sisi emosionalnya seperti yang dikemukakan Mourinho tersebut. Selamat untuk Liverpool dan untuk Tottenham tetap layak diberikan apresiasi terhadap performa mereka yang impresif dalam final pertama dalam sejarah klub.
@hensa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H