Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Peringkat Hitam

29 November 2017   16:15 Diperbarui: 29 November 2017   17:02 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instalasi Pengolahan Limbah Cair Pabrik Gula di Jawa Timur ( Dok.Pribadi/Hensa)

NOVEL PESONA BUNGA TEBU

Episode 5

PERINGKAT HITAM

Surat dari Direksi ini masih aku genggam dan berulang-ulang aku membacanya lalu berulang ulang pula perasaan gusar hinggap mengganggu keseimbangan perasaanku. Surat peringatan keras dari Direksi akibat dari hasil evaluasi yang mendapatkan peringkat HITAM dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terhadap kinerja Perusahaan dalam Program Peringkat (Proper) Pengelolaan Lingkungan. Proper Hitam ini adalah peringkat paling bawah dalam mengelola lingkungan. Perusahaan belum melakukan upaya dalam pengelolaan lingkungan sebagaimana yang dipersyaratkan sehingga berpotensi mencemari lingkungan , dan berisiko untuk ditutup ijin usahanya.

Kejadian ini aku alami tahun lalu yaitu pada tahun pertama aku memegang jabatan Administratur Perusahaan Persero Pabrik Gula ini. Tahun pertama yang sangat berat penuh perjuangan terutama menghadapi tantangan pengelolaan lingkungan. Upaya tahun ini untuk perbaikan pengelolaan lingkungan ditekankan pada penaggulangan pencemaran limbah cair. Tekad pabrik ini harus memperbaiki peringkat. Trauma tahun lalu jangan sampai terulang lagi.  

Hari ini ada agenda kunjungan dari Pemda Bidang Pengawasan Lingkungan yang merupakan kepanjangan tangan dari KLH. Tim mereka berkunjung untuk memantau perkembangan pengendalian cemaran melalui instalasi pengolahan air limbah. Pembangunan Instalasinya sendiri belum rampung padahal waktu yang diberikan Pemda sudah lewat. Kunjungan ini sebenarnya sekaligus inspeksi untuk bahan penilaian Proper Perusahaan dari KLH.

Aku menerima Drs Alam Permai yaitu Kabid Pengawasan Lingkungan Pemda di ruang kerjaku sementara rombongan stafnya mengikuti kunjungan lapang dipandu oleh Solihin, Kabag Pabrikasi bersama stafnya pula. Pertemuanku dengan Pak Alam ini adalah yang ke tiga sedangkan dua pertemuan sebelumnya adalah sewaktu Beliau mengundangku ke kantornya.

"Bagaimana kabar pak Prasaja?" tanya pak Alam dengan gaya seorang birokrat tulen. Aku tersenyum sambil menjawab dalam keadaan sehat tidak kurang suatu apapun.

"Harga gula saat ini sedang bagus ya Pak tentu pabriknya akan mendapat keuntungan yang berlimpah. Mudah-mudahan ini berimbas pula pada penanganan limbahnya ", kata pak Alam setengah bercanda sambil tertawa penuh makna.

"Ya betul Pak. Kami terus berusaha untuk membenahi dan menangani limbah cair agar tidak mencemari lingkungan" kataku pelan.

"Memang seharusnya begitu, apalagi sekarang masyarakat sudah semakin sadar terhadap lingkungan. Sedikit saja ada pencemaran maka langsung gejolak protes semakin nyaring seperti yang Bapak alami sendiri kan?" kata Alam dengan gaya seorang Inspektur.

"Betul Pak. Kami memiliki komitmen dan hal itu akan kami perhatikan,  masyarakat harus mendapatkan lingkungan yang ramah " kataku meyakinkan dan Pejabat Pemda itu hanya manggut-manggut. Terus terang aku muak dengan caranya dia manggut-manggut kental dengan gaya seorang Pemeras.   

Seperti tahun yang lalu, hasil kunjungan lapang seperti ini sudah dapat diduga dari awal bahwa ternyata instalasi pengolah air limbah dinilai masih belum layak dioperasikan.   Apalagi tiga hari kemudian sampel air yang diambil waktu itu setelah dianalisa di laboratorium mereka masih menunjukkan tingkat cemaran yang serius.

Rabu 14 September adalah hari giling ke 138. Di hadapanku Solihin masih terdiam, sementara aku masih memegang lembar hasil pemeriksaan sampel air dari Laboratorium Lingkungan yang ditunjuk oleh pihak Bidang Pengawasan Lingkungan Pemda.

"Hasil analisa laboratorium ini nampaknya tidak begitu baik untuk limbah cair kita. Bagaimana pendapatmu ?" tanyaku kepada Solihin.

"Begini Pak. Menurut Pak Alam hasil ini masih diberitahukan secara intern kepada pabrik gula dan belum dikirimkan resmi ke Direksi di Kantor Pusat. Hal ini untuk memberi kesempatan kepada pihak pabrik. Maksudnya memberi kesempatan itu ya negosiasi, begitu kata Beliau sewaktu telpon saya tadi malam," kata Solihin datar tanpa ekspresi. Aku jadi teringat tahun lalu juga begini. Waktu itu aku tidak kompromi dengan kesempatan seperti ini.

Mendengar ini aku hanya tersenyum tapi aku merasakan senyum ini begitu pahit. Aku teringat sudah hampir seminggu yang lalu ketika menghadiri Rakor di Surabaya, Direktur Produksi menyempatkan bicara empat mata. Beliau waktu itu kembali mengingatkan agar persoalan limbah cair di pabrikku segera diselesaikan jangan sampai terulang menerima Peringkat Hitam.  Jika itu terjadi, maka akan berdampak adanya sanksi berupa black list dalam urusan kredit Bank. Tentu saja Direktur Produksi tidak mau hal itu terjadi agar tidak terganggu kinerja perusahaan. Kembali Peringkat Hitam itu menghantuiku. Ya aku harus mengambil keputusan penting walaupun mungkin sangat menyakitkan nurani terdalamku.

"Bagaimana pak? Waktu yang diberikan Bidang Pengawasan Lingkungan Pemda sudah semakin mepet dan dalam waktu yang singkat ini tidak mungkin air buangan kita memenuhi syarat mutu yang ditentukan" suara Solihin memecah kesadaranku dan argumennya telah membuat aku harus menyerah demi sebuah reputasiku didepan Direktur Produksi. Lagi pula data Laboratorium ini sangat penting untuk bukti bagi audit dari KLH yang nantinya dipergunakan bagi penentuan peringkat perusahaan termasuk kedalam kategori mana. Aku tidak mau Peringkat Hitam lagi.  

"Okey  tolong diatur saja!" kataku tegas walaupun akhirnya harus pasrah, mau bagaimana lagi.

"Baik Pak! Saya sudah hafal apa yang harus dilakukan karena ini adalah tradisi sebelum Bapak jadi Administratur di sini" kata Solihin dengan wajah cerah. Mendengar ini aku merasakan keprihatinan yang dalam. Bisakah aku mengubah tradisi yang tidak elok ini? Pertanyaan ini suatu hari nanti harus bisa aku jawab dengan tindakan.

"Bagaimana dengan aktivis LSM?" Ini pertanyaanku kepada Solihin tentang beberapa LSM Lingkungan yang hobinya merongrong pabrik gula selama ini.

"Jangan kuatir Pak. Saya juga sudah hafal menghadapi mereka," kata Solihin penuh keyakinan. "Nanti malam ada pertemuan dengan mereka. Setelah itu tidak akan ada lagi yang berani berkicau."

Aku benar-benar pasrah dan hanya bisa termenung lesu sambil memandang Solihin dengan pandangan yang dungu dan kosong seperti orang tak punya jiwa.  

"Tunggu dulu, " kataku memecah keheningan. "Walau bagaimanapun target cemaran air buangan kita nantinya harus tetap diupayakan memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan oleh pihak Lingkungan hidup. Paling tidak untuk musim giling mendatang Instalasi Pengolah Air Limbah kita sudah beroperasi dengan baik sehingga tidak perlu lagi negosiasi seperti yang dilakukan kali ini!" Aku mencoba menegaskan komitmen ini kepada Solihin, Kabag Pabrikasi yang bertanggung jawab menangani masalah ini.

Mungkin kata kata itu hanya menimbulkan kelegaan sesaat dan setelah itu rasa resah kembali menghujam lubuk hati ini. Kaki ini seperti tidak berpijak di bumi dan aku merasakan seperti menjadi asing dengan diriku sendiri.

"Jangan kuatir Pak. Saya dan kawan-kawan akan tetap melanjutkan komitmen agar program IPAL kita tetap sukses karena ini juga menjadi sorotan pihak Direksi" kata Solihin dengan nada mantap.

Tapi kalimat itu tidak pernah berhasil menghiburku. Entah rasa sesal seperti apa yang aku rasakan. Atau rasa lega seperti apa. Namun yang jelas aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri.

Dalam seminggu ini apa yang telah aku putuskan masih terus menghantui perasaanku. Bagaimana tidak, tindakan dan keputusanku itu telah mencederai prinsip-prinsip moral yang selama ini aku pegang teguh. Atau memang selama ini sebenarnya aku ini sok moralis, sok idealis, sok suci. Padahal aslinya adalah sosok yang munafik  yang hanya mementingkan ego sesaat. Entahlah, aku benar-benar tidak tahu. Rasa gundah ini tetap menggelayuti relung hatiku.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar tak berdaya. Hari ini adalah hari penuh dengan kegundahan. Ternyata aku hanya manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. Entah kapan aku ingin memperbaiki kesalahan langkah ini. Entah kapan, mungkin suatu hari jika usiaku masih tersisa.

Ditengah tengah rasa gundah itu ada satu kabar gembira yang patut aku syukuri. Produksi gula terus meningkat dan tentu saja pendapatan pada musim giling ini juga terus meningkat, begitu laporan Kabag Tata Usaha Keuangan. 

Pasokan tebu hingga giling hari ini tetap lancar seperti dilaporkan Kabag Tanaman. Pabriknya sendiri juga berjalan tanpa hambatan dengan jumlah jam berhenti relatif sedikit, demikian laporan Kabag Pabrikasi. Semua peralatan pabrik hingga giling hari ini memiliki unjuk kerja yang baik, seperti yang dilaporan Kabag Instalasi.

Hari ini semua laporan begitu indah terdengar tapi mengapa hatiku tetap gundah? Entahlah. Mungkin gara Peringkat Hitam.  

Bandung 29 November 2017

BERSAMBUNG Episode 6

Episode 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun