Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apa Kabar Bioethanol sebagai Sumber Energi Terbarukan

5 Oktober 2017   21:59 Diperbarui: 28 Mei 2024   19:59 6197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Piranti Skala Pilot Plant untuk pembuatan Ethanol Anhydrous (Foto Dok.Pribadi/Hendro Santoso)

Pemerintah sudah sering kali menekankan betapa pentingnya memulai untuk melakukan pengembangan energi alternatif sebagai upaya mengurangi dan bahkan menghilangkan ketergantungan terhadap energi fosil. 

Penggunaan BBM dari bahan fosil sudah harus ditinggalkan karena sumbernya tidak terbarukan. Oleh karena itu dalam beberapa tahun ke depan, cadangan dan produksi minyak bumi berbahan baku fosil semakin menipis. Sementara itu kebutuhan BBM justru semakin meningkat.

Direktur Pemasaran Pertamina, M. Iskandar mengatakan bahwa total konsumsi semua produk BBM pada semester pertama tahun 2017 sudah mencapai 32,6 juta kilo liter. 

Sementara itu realisasi konsumsi pada semester I/2016 sebesar 31,7 juta kilo liter untuk semua produk BBM. Dari sisi tren produk BBM, kini porsi konsumsi premium  hanya sebesar 42,4% dibandingkan dengan jenis gasolin lain seperti pertamax, pertalite dan pertamax turbo secara total seperti dilansir Bisnis.com (16/8/2017).

Perlunya dikembangkan inovasi enersi alternatif yang terbarukan adalah karena alasan meningkatnya konsumsi energi fosil diperkirakan sebesar empat persen per tahun. 

Beberapa hal diketahui sebagai penyebab adalah semakin meningkatnya  jumlah kendaraan, industri dan pemakaian energi rumah tangga yang juga memperlihatkan kecenderungan meningkat tajam dari tahun ke tahun.

Selain itu perlunya mencari inovasi enersi terbarukan adalah belum tersedianya sumber energi alternatif pengganti BBM yang memadai dan belum diketemukannya sumur-sumur minyak baru sehingga untuk memenuhi kebutuhan nasional. 

Karena itu pula Pertamina harus mengimpor BBM jenis premium sebesar 12 juta kiloliter per tahun dan jenis solar sebanyak 3 juta kiloliter per tahun. Impor ini sangat membebani APBN.

Semua itu adalah faktor-faktor penting yang sudah sejak lama diketahui sehingga  harus dilakukan kebijakan sektor BBM (Pusat Studi Enersi UGM, pse.ugm.ac.id, 3/1/2012). 

Maka wajar jika saat ini sudah mulai terdengar wacana berkumandang untuk segera melakukan upaya beralih dengan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar  alternatif.

Pabrik Gula memiliki bahan baku yang melimpah untuk pembuatan bioetanol. Indonesia sudah memulai untuk memproduksi bahan bakar yang berasal dari nabati sejak berpuluh tahun lalu. 

Bahkan, sudah bisa mengekspor bioetanol. "Dengan bantuan dari New Energy and Industrial Technology Development Organization Japan atau NHDO, kita meresmikan pabrik bioetanol yang berbahan dasar tetes tebu,"kata Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian.

Sebuah pabrik bioetanol milik PT Perkebunan Nusantara X (Persero) yang berintegrasi dengan PG Gempol Krep di Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang berkapasitas produksi 30 juta liter per tahun itu, diresmikan pengoperasiannya. 

Pabrik dengan model yang mengintegrasikan produksi bioetanol dengan pabrik gula ini bisa berkontribusi dalam upaya meningkatkan penggunaan bahan bakar terbarukan. 

Pabrik serupa akan dibangun berintegrasi dengan PG Ngadiredjo, Kediri, dengan kapasitas yang sama dengan pabrik bioetanol di Mojokerto.

Pabrik bioetanol tersebut menambah jumlah dari pabrik-pabrik lama yang sudah beroperasi seperti disajikan pada tabel di bawah ini (Sumber Pusat Studi Enersi UGM, pse.ugm.ac.id). 

Sumber Foto Pusat Studi Energi UGM,pse.ugm.ac.id)
Sumber Foto Pusat Studi Energi UGM,pse.ugm.ac.id)
Dalam tabel di atas PT PASA Djatiroto adalah pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan PG Djatiroto PTPN XI (Persero) dan PT Madu Baru terintegrasi dengan PG Madukismo.

Beralihnya kebijakan enersi dari berbahan fosil ke yang berbahan nabati tentu saja sangat menguntungkan dari segi jaminan keamanan terhadap lingkungan. 

Selain fosil yang sudah semakin menipis sumbernya sedangkan bahan nabati hingga saat ini masih selalu terbarukan ketersediaannya.

Mari kita lihat sebuah fakta bahwa saat ini luas areal tebu di Indonesia sudah hampir sekitar 450 ribu ha dengan perkiraan produksi gula 2,4 juta ton per tahun sedangkan kebutuhan gula nasional sudah mencapai sekitar 5,8 juta ton. 

Hal tersebut menyebabkan diperlukannya perluasan area area tebu dengan pembukaan lahan baru untuk memenuhi target produksi selain impor gula sebagai solusi sementara. Proyeksi peningkatan produksi gula menyebabkan diperlukan pembukaan areal lahan tebu.

Untuk memenuhi kebutuhan gula nasional tersebut selain diperlukan tambahan areal tebu harus disertai dengan pendirian paling tidak 16 pabrik gula, masing-masing dengan kapasitas 10.000 TCD (ton cane per day).

Jika Pemerintah bersama dengan mitra dari pihak swasta bisa memenuhi kebutuhan gula nasional sehingga mampu memenuhi swa sembada gula nasional maka secara tidak langsung juga sinergis dengan program pengembangan inovasi energi terbarukan. 

Hal ini karena hasil samping dari produksi gula pasir akan dihasilkan tetes (molasses) yang melimpah. Sebesar 1,1 juta ton tetes yang diperoleh bisa menghasilkan 250 juta liter bioetanol per tahun.

Indonesia sudah sangat mendesak untuk segera memanfaatkan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak atau BBM yang digunakan selama ini. 

Apabila sekitar dua puluh persen saja dari total kebutuhan BBM tersebut disubstitusi dengan bioetanol, maka terbuka adanya peluang pasar bioetanol sebesar 6,68 milyar liter per tahun. 

Piranti Skala Pilot Plant untuk pembuatan Ethanol Anhydrous (Foto Dok.Pribadi/Hendro Santoso)
Piranti Skala Pilot Plant untuk pembuatan Ethanol Anhydrous (Foto Dok.Pribadi/Hendro Santoso)
Bioethanol yang dihasilkan sebagai substitusi harus memenuhi kriteria grade yang tinggi yaitu kadar Etanol 99 % (Ethanol Anhydrous). 

Kadar tersebut yang memenuhi syarat untuk dilakukan pencampuran bioetanol dengan BBM menjadi Gasohol E-10 yaitu produk bahan bakar dengan kandungan 10 % bioetanol. 

Untuk menunjang inovasi tersebut, mungkin fakta dilapang masih belum terpenuhi yaitu target produksi bioetanol dari pabrik alkohol yang sekarang beroperasi.

Sebenarnya sudah jauh-jauh sebelumnya pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar. 

Presiden menginstruksikan 13 Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengambil langkah-langkah percepatan dan pemanfaatan biofuel. 

Kemudian disusul dengan SK Dirjen Minyak dan Gas Bumi No. 3674/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006 yang mengizinkan pencampuran bioetanol kedalam gasoline hingga 10% termasuk memberikan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter kepada produsen bahan bakar nabati (BBN) seperti bioetanol dan mandatory kepada industri untuk menggunakan BBN.

Potensi bahan baku sudah tersedia sangat berlimpah, teknologi sudah dikuasai dan semua perangkat hukum serta dukungan Pemerintah sudah jelas. 

Sekarang tinggal para pelaku industri segera bergerak bersama mewujudkan pengembangan inovasi untuk energi baru dan terbarukan. Jangan lagi menunda terlalu lama. Action!

Salam @hensa17. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun