Bahkan, sudah bisa mengekspor bioetanol. "Dengan bantuan dari New Energy and Industrial Technology Development Organization Japan atau NHDO, kita meresmikan pabrik bioetanol yang berbahan dasar tetes tebu,"kata Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian.
Sebuah pabrik bioetanol milik PT Perkebunan Nusantara X (Persero) yang berintegrasi dengan PG Gempol Krep di Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang berkapasitas produksi 30 juta liter per tahun itu, diresmikan pengoperasiannya.Â
Pabrik dengan model yang mengintegrasikan produksi bioetanol dengan pabrik gula ini bisa berkontribusi dalam upaya meningkatkan penggunaan bahan bakar terbarukan.Â
Pabrik serupa akan dibangun berintegrasi dengan PG Ngadiredjo, Kediri, dengan kapasitas yang sama dengan pabrik bioetanol di Mojokerto.
Pabrik bioetanol tersebut menambah jumlah dari pabrik-pabrik lama yang sudah beroperasi seperti disajikan pada tabel di bawah ini (Sumber Pusat Studi Enersi UGM, pse.ugm.ac.id).Â
Beralihnya kebijakan enersi dari berbahan fosil ke yang berbahan nabati tentu saja sangat menguntungkan dari segi jaminan keamanan terhadap lingkungan.Â
Selain fosil yang sudah semakin menipis sumbernya sedangkan bahan nabati hingga saat ini masih selalu terbarukan ketersediaannya.
Mari kita lihat sebuah fakta bahwa saat ini luas areal tebu di Indonesia sudah hampir sekitar 450 ribu ha dengan perkiraan produksi gula 2,4 juta ton per tahun sedangkan kebutuhan gula nasional sudah mencapai sekitar 5,8 juta ton.Â
Hal tersebut menyebabkan diperlukannya perluasan area area tebu dengan pembukaan lahan baru untuk memenuhi target produksi selain impor gula sebagai solusi sementara. Proyeksi peningkatan produksi gula menyebabkan diperlukan pembukaan areal lahan tebu.
Untuk memenuhi kebutuhan gula nasional tersebut selain diperlukan tambahan areal tebu harus disertai dengan pendirian paling tidak 16 pabrik gula, masing-masing dengan kapasitas 10.000 TCD (ton cane per day).