*) Keterangan Sumber Foto : Wahyu Putro A/ Antara
Memang sepak bola Indonesia ibaratnya baru saja terjatuh terkena hantaman sanksi SK Pembekuan Menpora lalu tertimpa pula oleh sanksi FIFA maka rasa penderitaanpun menghimpit segenap sendi-sendi dan seluruh tubuh yang berakibat fatal pada keletihan prestasi sepak bola Indonesia yang berkepanjangan. Saat ini seusai Kongres Pemilihan Ketum PSSI yang diselenggarakan di Jakarta pada 10 November 2016 telah terpilih Letnan Jenderal Edy Rahmayadi melalui pemungutan suara yang demokratis.Â
Ketua Umum PSSI dan seluruh Pengurus PSSI yang baru ini akan bertugas selama periode 4 tahun ke depan 2016-2020. Kongres PSSI baru saja selesai namun masih saja terdengar pihak-pihak yang tidak puas terhadap hasil Kongres ini. Hal ini adalah sesuatu yang wajar karena perbedaan pendapat di negeri ini sangat dihormati dan dihargai. Kompasiana memuat artikel-artikel menarik yang berkaitan dengan hasil Kongres PSSI 10 November 2016.
Rekonsiliasi yang Gagal
Ada tiga artikel yang sangat menarik. Rekan saya Hery Syofyan menulis Rekonsiliasi PSSI Gagal, Bonek Kembali Bergejolak. Artikel ini  menyimpulkan bahwa upaya Rekonsiliasi melalui Kongres PSSI tidak membuahkan hasil seperti keinginan masyarakat sepakbola negeri ini. Kongres ini kembali mengambangkan nasib klub-klub Persebaya, Arema Indonesia, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, Persewangi Banyuwangi, Lampung FC, dan Persipasi Kota Bekasi.
 Demikian pula beberapa nama seperti Djohar Arifin, Farid Rahman, Sihar Sitorus, Bob Hippy, Tuty Dau, (Alm) Mawardi Nurdin, dan Widodo Santoso yang dijanjikan akan ada pemulihan nasib mereka. Semangat  rekonsiliasi ini menjadi hambar kembali ketika Haruna Soemitro (Madura United) mengusulkan agar agenda pengampunan terhadap klub-klub dan perorangan yang terkena sanksi PSSI ditunda dan diserahkan kepada Pengurus Baru terpilih. Usulan Haroena ini disetujui sebagian besar para Voters.
Kompasianer Dimas Satria Putra menyajikan tulisan dengan judul Kumat, Pembekuan PSSI 2.0 Harus Dilakukan. Esensi tulisan ini sama seperti tulisan sebelumnya yaitu kekecewaan karena belum dikabulkannya permintaan klub-klub antara lain Persebaya 1927 untuk dapat mengikuti lagi kegiatan kompetisi sepak bola yang diselenggarakan oleh PSSI.Â
Dikutip dalam artikel tersebut, Dimas menganggap bahwa Kongres PSSI kembali jadi arena dagelan pihak tidak bertanggung jawab. Dilaksanakan dengan skema abstrak dan berbau kongkalikong oleh para voters membuat rapat akbar ini hanya sekedar ajang kumpul-kumpul dan arisan kocok yang pemenangnya sudah diketahui sejak pendaftaran calon ketua. Pembekuan sepertinya perlu dilakukan kembali. Banyak pihak sah yang dicurangi, banyak janji yang diingkari, banyak pihak ilegal yang malah diakui. Kemenpora harus tegas pada PSSI dan FIFA. Bahkan Dimas mengharapkan Menpora membekukan kembali PSSI untuk yang kedua kali.Â
Seorang Kompasianer lain, Wahyu Eka  malah menginginkan adanya Revolusi Harga Mati. Coba perhatikan dalam artikel tersebut Wahyu mengharapkan suporter bersatu merebut PSSI dan mendirikan PSSI Baru karena menganggap PSSI tidak berpihak kepada Suporter hanya menjadi corong politik. PSSI tidak lagi mewadahi insan sepakbola dan suporter, namun lebih mewadahi para makelar birokrat. Dimana sepakbola menjadi ladang meraup keuntungan dan popularitas.
Tantangan Bagi Edy Rahmayadi
Sesungguhnya apa yang ditulis oleh tiga Kompasianer tersebut merupakan kekecewaan yang sudah lama mengendap dan bisa jadi mewakili para pecinta sepak bola nasional. Sudah lama bangsa ini haus akan prestasi Tim Nasionalnya Sang Garuda Merah Putih. Rasa cinta dan rindu pada prestasi Timnas Garuda ini yang dialamatkan kepada Pengurus PSSI melalui ekspresi kritik, baik dalam bentuk tulisan maupun aksi merupakan hal yang wajar. Justru inilah tantangan bagi jajaran Pengurus PSSI yang baru dengan Ketum Letnan Jenderal Edy Rahmayadi.
Revolusi PSSI mungkin benar bukan realitas saat ini namun untuk Reformasi dan Rekonsiliasi adalah hal-hal yang tidak sulit untuk diwujudkan. Kemenpora kembali mengingatkan tentang reformasi sepakbola Indonesia. Pembinaan usia muda, manajemen keuangan yang transparan, memerangi mafia pengaturan skor pertandingan, liga nasional yang profesional, pembinaan suporter dan banyak program-program yang selama ini masih menjadi pekerjaan rumah yang terbengkalai. Menmpora juga mengingatkan kembali  rekonsiliasi menyeluruh sehingga bisa mewujudkan kerja sama yang harmonis semua stke holde sepkbola nasional yang memiliki satu tujuan luhur yaitu prestasi puncak bagi Tim Nasional. Bagaimanapun juga muara keberhasilan Pengurus PSSI adalah Prestasi Tim Nasional  Garuda.
Usia PSSI memang sudah 86 tahun lahir 19 April 1930. Tentu saja sudah tua renta namun untuk sepakbola Indonesia, kini masih kembali mencoba belajar melangkah. Pelan-pelan tapi pasti menuju tempat yang terukur dan jelas yaitu mengantarkan Tim Nasional Garuda ke Piala Dunia. Mungkinkah?
Bandung 13 November 2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H