Aaaahh gerimis,... Rintik air ini selalu kembalikan memori tentang kamu. Tentang drama singkat yang pertemukan kita kemarin-kemarin, dipersimpangan perasaan. Aaaahh galau,... Rasa tak menentu dari relung paling dalam, Dihujam belati rindu, sugesti bodoh dari dalam tubuhku... Kamu dan kesemrawutan itu begitu cantik. Seperti jakarta di senin pagi, atau jum'at malamnya. Ya benar, jum'at malam saat traffic begitu berdinamika, saat orang berlomba-lomba pulang, di iring hujan yang mengundang genangan. Anjing, parau ku memaki binatang!. Kau tahu... Aku memaki harum nafasmu yang senantiasa tinggal dirongga-rongga kotor hidung. Tak mau hilang saat kubersinkan, bahkan saat ku basuh dengan wudhu. Aku memaki paras, aku memaki nafas. Aku memaki pesona serta keremajaan itu. Kau tahu... Aku menangisiku, aku menangisimu... Aku menangisi kita yang cengeng meratapi ini. Dan lalu, ku baca lagi roman-roman bodoh Shakespeare.. Ku telaah kembali kegilaan Gibran, penyair sinting yang tetap mengagumkan. Sungguh, kita tak sepadan. Karya yang kita tulis, hanya sebatas stensil murahan. Yang dijaja pengasong, tukang TTS dan koran di tahun 1998. Sungguh, sayang... Kisah kita tak sepadan. Kita hanya stensil murahan......!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H