Mohon tunggu...
Henry hilmawan wibowo
Henry hilmawan wibowo Mohon Tunggu... Lainnya - ig; henryan52

generasi muda generasi penerus bangsa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dampak dari Revisi Undang-Undang KPK

27 Juni 2021   12:59 Diperbarui: 27 Juni 2021   13:06 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz melaporkan jumlah tindak pidana korupsi yang ditangani Polri sepanjang tahun 2019 meningkat.Sepanjang tahun ini yang semula sebanyak 32 kasus menjadi 1504 kasus dan kerugian negara yang berhasil diungkap ada Rp1,8 triliun.

"Dari jumlah itu keuangan negara yang berhasil diselamatkan sebesar Rp454 miliar. Dari seluruh kasus selama 2019 itu yang bisa diselesaikan ada 768 kasus," ucap Idham dalam konferensi pers rilis akhir tahun, Sabtu, 28 Desember 201 di Auditorium Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan.

Jakarta (1/6/2021) - sebanyak 1.271 pegawai Komisi Pemberantas Korupai (KPK) telah resmi dilantik sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertempat di gedung juang KPK. Proses penyaringan yang terbilang panjang dan menuai beragam pro/kontra di dalamnya hingga pada akhirnya pun telah sampai di tahap akhir serta menghasilkan 75 penyidik KPK yang dinyatakan tidak lolos dalam tes TWK. Di samping itu, 51 di antaranya dengan berat hati harus melepaskan jabatan/diberhentikan per-Oktober 2021 nanti.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dinamika alih fungsi menjadi ASN ini adalah buntut dari revisi UU KPK pada 2019 lalu dan ini pun menjadi persoalan bersama bangsa yang terus menuai konflik pertentangan di dalamnya. Lanjut lagi, ketika hal demikian berhasil disahkan lalu kemudian munculah problematika lain yang secara substansial lebih mengkeruhkan situasi maupun kondisi tatanan kenegaraan Indonesia ini. Yaitu terkait munculnya beragam pertanyaan pada salah satu tes TWK yang disinyalir meneror keyakinan beragama dan dari hal tersebut membuat ke-75 penyidik mega kasus korupsi di Indonesia terpaksa diberhentikan karena tidak lolos tes tersebut.

Dari ke-75 penyidik yang gagal pada tes TWK, mereka pada kenyataannya adalah pemegang kunci utama dari mega kasus korupsi di Indonesia. Seperti kasus korupsi E-KTP, kasus suap anggota KPU, kasus suap pejabat Ditjen Pajak, kasus suap izin ekspor benih Lobster, kasus dugaan suap jual-beli jabatan di Tanjungbalai, sampai dengan kasus korupsi pengadaan bansos Covid-19. Dengan kondisi yang seperti ini, maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka sudah tidak memiliki wewenang yang berlaku dalam menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.

Jika kita telah secara seksama, bukankah ini bisa dikatakan sebagai suatu hal yang sangat mencurigakan? Bagaimana taktik secara halus sebagai salah satu langkah untuk melemahkan Lembaga Antirasuah dan juga memberikan karpet merah bagi pelaku korupsi di Indonesia. Jika pada beberapa tahun terakhir ini praktek korupsi begitu merajerela serta seolah-olah mendapatkan singgasananya. Lantas, bagaimana jadinya beberapa tahun ke depan jika situasinya semakin hari kian memprihatinkan.

Di samping gemuruh problematika karena dinonaktifkannya ke-75 pengawai KPK, terdapat satu poin yang tak luput menjadi bahan perbincangan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Yaitu munculnya sejumlah pertanyaan yang bernarasi diskriminatif terhadap pegawai yang beragama Islam dan hal ini banyak dinilai sejumlah ahli bahwa sangat bertolak belakang dengan nilai pancasila. Contohnya seperti, "Lebih memilih Al-Qur'an atau Pancasila? Ataupun menanyakan perkara privasi hubungan rumah tangga."

Dimulai dari dicetuskannya RUU KPK hingga terakhir perkara keanehan soal ketika Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang hingga pada akhirnya mengharuskan ke-75 pegawai KPK harus dibebastugaskan. Ini bukan lagi menjadi catatan dan PR pemerintah pusat saja, melainkan seluruh elemen masyarakat Indonesia perlu bersama-sama untuk menyuarakan kasus ini (KPK) ini didirikan pada tahun 2003 pada zaman kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Hal ini dilandasi atas asas keprihatinan melihat kasus korupsi yang terus merajarela di Indonesia dan berharap dengan hadirnya KPK ini mampu membasmi tindak korupsi sampai ke akar-akarnya.

Namun, lihat dan saksikanlah dengan jeli pada hari ini. Bagaimana KPK justru seolah-olah mampu dijadikan seperti mainan dan diperalat untuk memberikan wadah bagi segelintir pihak yang ingin menggerogoti ibu pertiwi ini. Kita pun selaku rakyat Indonesia tidak henti-hentinya untuk terus menumpukan harapan akan kondisi Indonesia yang akan membaik di kemudian hari nanti, berharap akan pemimpin negeri ini yang mampu menggantikan air yang keruh menjadi bersih, dan kemudian mampu mewarnai negeri ini dengan segala warna kebaikannya.

Tapi disisi lain TWK merupakan hal yang penting dalam test untuk menjadi seorang ASN. "Pernah terjadi seperti itu kondisinya, bahkan di BPIP, juga ada begitu TWK, mereka tidak lolos. Kenapa itu tidak ribut? Kenapa yang KPK begitu diributkan, itu," kata Moeldoko kepada awak media, Rabu, 26 Mei 2021.

 "Persoalan wawasan kebangsaan itu bisa naik turun karena memang ancamannya juga semakin keras. Untuk itu penguatan sungguh sangat diperlukan. Kenapa kita mesti bertele-tele mendiskusikan sesuatu yang baik, untuk kepentingan masa depan Indonesia. Ini bangsa ini sungguh kadang-kadang kehilangan akal sehat, gitu," kata Moeldoko.

"Maka sekali lagi kita semuanya ya, saatnya KPK kembali berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsinya dan kita dukung sepenuhnya, masyarakat dukung sepenuhnya," kata Moeldoko.

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah dari revisi undang-undang KPK bahwa mewajibkan anggota KPK harus berstatus ASN sehingga wajib diadakan test tentang wawasan kebangsaan atau TWK. Namun hal ini menjadi perdebatan public karena banyak sekali pro dan kontra dari kebijakan ini.

Saran dari masalah ini KPK sebagai penyelenggara test ini harus bersifat transparan dan ketua KPK harus ikut dalam mengawasi jalannya test wawasan kebangsaan ini sehingga tidak ada lagi pola pikir masyarakat yang memojokan atau berburuk sangka terkait proses test wawasan kebangsaan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun