Penelitian merupakan salah satu cara untuk menyusun ilmu yang disebut teori. Dengan teori, seseorang memiliki dasar untuk bertindak secara efektif dan efisien. Efektivitas teori yang berdasarkan penelitian memanglah sudah tidak diragukan lagi. Buktinya, negara-negara maju merupakan negara-negara yang selalu mendasarkan riset pada setiap keputusan pemerintahannnya[1]. Dengan demikian, apakah dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian adalah kebenaran?
Jika pada ilmu eksakta, benarlah dikatakan bahwa hasil penelitian adalah kebenaran. Misalnya, jika penelitian eksakta menunjukkan bahwa titik didih air ialah 100 derajat Celcius, maka tidaklah mungkin air akan mendidih pada suhu 50 derajat Celcius. Kalaupun ada kesalahan, paling hanya sedikit dan bisa ditoleransi. Misalnya, jika kamu melakukan percobaan untuk mendidihkan air, lalu kamu mendapati bahwa air bisa mendidih pada suhu 99,8 derajat Celcius, maka itu adalah hal yang wajar[2].
Namun jika pada ilmu humaniora, lebih tepat jika dikatakan bahwa hasil penelitian ialah mendekati kebenaran. Subjek dari penelitian humaniora ialah manusia, sedangkan manusia merupakan makhluk yang sangat kompleks. Tidaklah mungkin untuk mengidentifikasi seluruh variabel yang ada pada mental manusia secara bersamaan. Padahal, satu variabel dapat memengaruhi variabel yang lain.
Misalnya, pada penelitian untuk mencari tahu titik didih air, terdapat dua variabel yang bisa didentifikasi, yaitu air dan suhu. Pada pelaksanaannya, peneliti cukuplah memanaskan air sambil mengukur suhu air, lalu didapatilah bahwa titik didih air ialah 100 derajat Celcius. Tentu, bisa jadi ada "variabel ketiga" yang mengganggu proses penelitian. Namun, variabel penganggu itu bisa teridentifikasi dengan mudah. Misalnya warna air yang tidak jernih menandakan adanya variabel penganggu yang mengotori air, sehingga bisa memengaruhi titik didih air.
Namun pada manusia, "variabel ketiga" sangatlah sulit teridentifikasi. Misalnya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa berolahraga dapat membuat seseorang menjadi bahagia. Apakah hasil penelitian itu bisa diterapkan pada semua orang? Belum tentu. Kita mendapati bahwa terdapat dua variabel pada penelitian itu, yaitu olahraga dan kebahagiaan. Artinya, penelitian itu hanya menguji pengaruh olahraga terhadap kebahagiaan, tanpa memertimbangkan faktor-faktor lain.
Tentu, kita semua bisa memahami bahwa kebahagiaan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor selain olahraga, misalnya keadaan ekonomi, cinta kepada diri sendiri, kebersyukuran, dll. Orang yang mencintai diri sendiri, yang berolahraga tentu akan memiliki tingkat kebahagiaan yang berbeda dengan orang yang membenci diri sendiri, yang berolahraga. Oleh karena itu, penelitian seperti itu pastilah dilakukan menggunakan banyak orang (puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang). Jadi, kesimpulan yang tepat ialah secara umum, berolahraga dapat membuat seseorang menjadi bahagia. Dengan kata lain, berolahraga belum dapat membuat seseorang menjadi bahagia.
Jika Penelitian Humaniora Hasilnya Tidak Pasti Benar, Mengapa Terus Dilakukan?
Dari penjelasan di atas, kita semua bisa memahami bahwa hasil penelitian humaniora tidaklah bisa diterapkan begitu saja pada individu. Namun, hasil penelitian itu sangatlah bermanfaat apabila diterapkan pada masyarakat. Misalnya, penelitian di Kota X menunjukkan penduduk Kota X memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah. Setelah diamati lebih lanjut, Kota X adalah kota industri yang mayoritas penduduknya sibuk bekerja di kantor. Maka, kebijakan Walikota X yang mengadakan car free day setiap akhir pekan akan mampu meningkatkan tingkat kebahagiaan penduduknya.Â
Apakah Berarti Hasil Penelitian Humaniora Sama Sekali Tidak Berguna Jika Diterapkan pada Individu?
Sangat berguna, apabila digunakan dengan tepat. Misalnya, jika psikolog ingin membuat kliennya yang kurang bahagia menjadi bahagia, maka dia tidak akan menyuruh kliennya berolahraga begitu saja. Psikolog akan melakukan asesmen terlebih dahulu untuk mendapatkan data mengenai variabel-variabel lain dari kliennya.
Jika sudah yakin bahwa tidak ada faktor lain yang membuat kliennya menjadi kurang bahagia (misalnya, klien adalah orang mapan, mencintai diri sendiri, dan memiliki kebersyukuran yang tinggi, dll), maka meminta klien untuk berolahraga bisa menjadi opsi untuk meningkatkan kebahagiaan klien. Atau, psikolog bisa saja meminta klien untuk berolahraga terlebih dahulu sebelum bertemu dengannya agar klien merasa sedikit lebih bahagia, sehingga psikoterapi yang akan diberikan kepada klien bisa berjalan dengan optimal.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!